Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dusun dalam Belit Misteri

11 Maret 2019   15:02 Diperbarui: 11 Maret 2019   15:18 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika terbangun, mataku memicing karena silau menatap lampu sorot. Tak ada bebatan kain di mata ini. Tapi kaki dan tanganku masih terikat. Di sebelahku Tuan Lontare kebingungan. Matanya mengerjap-ngerjap mencoba membaca suasana di sekeliling kami.

Di tengah kebingungan, seorang lelaki tua, namun berperawakan kekar menemui kami. Dia tertawa pelan, selanjutnya berkata "Manusia luar! Orang-orang gila yang serakah! Sudah berulang-ulang diberi peringatan, masih berani datang karena ketamakan."

"Kami tak mencari harta benda," selaku cepat. "Kami hanya ingin menyelidiki dusun angker yang telah melegenda di daerah kami. Dan Tuan Lontare ini seorang ilmuwan dari Amerika. Dia seorang petualangan yang menyambangi seluruh pelosok di Indonesia dengan tempat-tempat misterius yang keramat bagi masyarakat yang pengecut."

"Kalian memang telah berhasil menemui dusun yang kalian cari. Lalu untuk apa? Mau menguasainya? Kalian memang manusia barbar!" Dia memaki sambil meludah ke samping kiri. Terbata-bata Tuan Lantore menyabarkannya. Sesuatu yang mustahil menurutku. Lelaki di depan kami pasti berhati sekeras batu. Sebentar lagi aku dan Tuan Lontare menjadi bulan-bulanan mereka, manusia seperti kami. Bukan oleh begu-begu yang sering diceritakan orang-orang di daerahku. 

Ternyata selama ini, seluruh orang hanya membicarakan hal yang tak seratus persen benar. Sebab, sekali lagi, mereka yang mencoba menjangkau dusun ini, pasti akan lenyap tanpa jejak. Atau jika beruntung, pulang dengan kondisi gila.

Namun prediksiku tak sepenuhnya benar. Tuan Lantore memang seorang ilmuwan dan petualang sejati. Dia patut diacungi jempol. Dari bujuk rayunya, lelaki di depan kami melembut. Dia menyuruh dua orang anak buahnya membuka ikatan kami. Dari bincang-bincang santai seraya meminum air nira, barulah kami tahu namanya Sintaro. Dia juga seorang ilmuwan seperti Tuan Lantore. Bedanya, dia tak berpetualang, melainkan menghilang dari peradaban manusia luar, dan membentuk ordo sendiri. Selain itu dia bukan Amerika, melainkan peranakan Jepang-Indonesia. Ketika kami akan bertanya lebih lanjut, dia malahan menyuruh kami tidur. Besok pagi dia akan mengajak kami keliling dusun. Sebab kalau badan tak fit, bisa-bisa kami lebih memilih tidur ketimbang melihat-lihat dusun ini, sekaligus mendengar segala rahasianya dari mulut Sintaro.

Kami akhirnya cukup puas tidur, sehingga badan terasa segar ketika pagi benar diajak Sintaro keliling dusun. Dia menceritakan bahwa dulunya dia juga seperti kami. Hidup dan berkembang di tengah manusia pada umumnya. Dia bersekolah di Jepang bagian tehnik mesin. Kemudian hijrah ke Negara Indonesia, setelah menikahi seorang putri Raden. Diungkapkannyalah niat sucinya dulu untuk menyelamatkan krisis yang melanda Indonesia, dengan kondisi harga bahan bakar minyak melonjak tajam.

Dia bereksperimen dengan air. Menurut pelajaran yang didapatnya di universitas, serta dari buku-buku terlarang tentang prinsip air dan kekuatannya, air adalah penghantar listrik yang baik. Jadi bila dia diuapkan menjadi senyawa hydrogen dengan campuran bla-bla-bla, maka terciptalah energi listrik yang lebih kuat dayanya ketimbang energi yang berasal dari bahan bakar fosil.

Dia sempat mempraktekkannya di sebuah desa terpencil. Dan ternyata berhasil. Dalam sekejap listrik menyala tanpa perlu warga membayar iuran. Mereka juga tak mesti pergi ke SPBU untuk mengisi minyak kendaraan bermotor, melainkan hanya menyendok air yang melimpah, lalu brmmm, kendaraan bermotor itu melaju lancar, nyaris tanpa suara dan asap.

Tapi penguasa dan rombongan kaum kapitalis tak menyetujui pembaruan yang dilakukan Sintaro. Itu bisa mematikan perusahaan-perusahaan tambang minyak dan gas bumi. SPBU-SPBU juga akan tutup sebab tak ada pembeli. Jadi dengan akal licik mereka, Sintaro disebut si sinting. 

Sintaro tetap dengan komitmennya seperti semula, maju terus pantang mundur. Akibatnya penguasa dan kaum kapitalis mempergunakan tangan besi. Mereka bermaksud membumihanguskan daerah tempat tinggal Sintaro. Beruntung informasinya cepat ditangkapnya dari salah seorang penduduk. Maka, langsung saja seluruh warga di situ berkemas. Mereka berlari ke pedalaman,  berhari dan berhari, sehingga kelelahan menggelayut manja di mata mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun