Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dusun dalam Belit Misteri

11 Maret 2019   15:02 Diperbarui: 11 Maret 2019   15:18 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tiga orang temannya, juga menuruti. Mereka meninggalkan barang-barang, lalu berlari menuruni lerang serupa trenggiling yang menggelinding. Tuan Lantore menimang-nimang uang itu. Dia menatapku ragu. Mungkin dia tak yakin apakah aku mau meneruskan petualangannya, atau menjadi pengecut dan berlari mengikuti jejak pesuruh itu.

"Aku tetap bersama anda!" kataku memastikan. Dia tersenyum. Namun manakala melihat tumpukan barang itu, wajahnya berubah muram. Diputuskannya untuk tak membawa barang-barang itu, kecuali sebuah buku, tiga batang pena dan kamera. Kami menyembunyikan sisanya di sebuah ceruk, kemudian menimbunnya dengan daun-daun kering. 

"Bagaimana dengan makanan?"

Dia melebarkan lobang kantong bajunya. Lima batang coklat menyembul di situ. Aku tak memperpanjang dengan menanyakan minuman. Sebab di setiap daerah yang kami lewati, pasti dilimpahi air segar.

Kembali kami meneruskan perjalanan lebih cepat. Cahaya dari sela-sela daun mulai memerah. Berarti senja pasti merapat. Ketika kulirik arloji di tanganku, tertera di situ pukul lima lewat lima menit. Sebentar lagi pasti gelap, lalu keangkeran semakin mendekat. Tiba-tiba nyaliku ciut. Aku takut sewaktu lengah, begu-begu penunggu dusun itu datang menyelinap. Menangkapku berdua Tuan Lontare. Kami akan dibawa ke tempat asing lalu dibunuh dan dikanibal. Atau kepala kami dibelah. Isinya dicecer di dalam air. Dicuci bersih, kemudian dimasukkan kembali ke dalam kepala kami yang ajaib langsung terutup. Dan kami menjadi orang gila!

"Kau takut?" Tuan Lontare mengejutkanku. Wajahnya yang lapang seakan ingin menelanku. 

"Ti...tidak! Aku hanya melihat hari beranjak malam."

Tuan Lontare tak memperdulikanku. Dia melangkah bertambah lebar. Berkali-kali dia terjatuh karena jalan licin. Tapi langsung saja dia berdiri sembari menepuk-nepuk pantat. Tatkala senja berubah malam, dan suara jangkrik membelah kegelapan, kami sontak melihat seberkas sinar yang merembes dari pucuk bukit dengan daun-daun yang berkelindan. Menuju pucuk bukit itu cukup terjal, juga licin. Kami harus hati-hati melangkah. Sesampai di sana, kami terpaksa berbaring, karena kemiringannya hampir empatpuluh lima derajat.

Tuan Lontare menyibak dedaunan. Aku berbuat serupa. Seketika mata kami membelalak melihat sesuatu di seberang sana. Sebuah telaga seluas hampir enam hektar berkilauan diterpa cahaya lampu-lampu merkuri. Di pinggirannya berjejer rumah-rumah bagus, bertingkat lalu berundak-undak dengan rumah di  kebelakangnya sampai ke pucuk bukit di seberang. Itu bukan sebuah dusun. Melainkan kota kecil yang menakjubkan. Berpenerangan modern, bahkan ada sinar laser. Di teras beberapa rumah, bergantungan lampu-lampu hias.

"Darimana mereka mendapatkan cahaya listrik yang terang benderang itu?" gumam Tuan Lontare seolah bukan bertanya kepadaku.

Aku hampir mejawab pertanyaannya yang mengambang. Tapi sesuatu membekap mulutku. Tuan Lontare mengeluh, seiring sehelai kain hitam membebat mataku. Kaki dan tanganku diikat kencang-kencang. Lalu dua pasang tangan mengangkatku. Menggelindingkanku ke lembah, sehingga pingsan beberapa saat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun