Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gang Becek

10 Maret 2019   16:34 Diperbarui: 10 Maret 2019   17:23 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gang becek itu selalu menjadi wilayah kekuasaan yang harus kami pertarungkan ketika malam benar-benar gelap. Setelah aku menelan dua-tiga butir Rohipnol, mengantongi lintingan cimeng, dan beceng terselip di pinggang. 

Sementara dia, juga telah menghabiskan berbotol Topi Miring yang diambil paksa di toko Tionghoa.  Dan kami akan bertarung mati-matian menguasai wilayah basah itu. Bergulingan di tanah yang tak pernah kering dan selalu berbau. Di mana bangunan tinggi-tinggi berterali sebesar jempol, mencekik gang itu. Di mana Tionghoa dan sedikit India kaya, ketakutan di dalamnya, lalu buru-buru menanggalkan perbincangan di teras. Mengunci pintu dan jendela. Meski kami tahu, mereka masih mengintip di setiap sela.

Pertarungan kami selalu berakhir dengan kelelahan dengan masing-masing terluka. Tapi ini hanyalah suatu cara menunjukkan kejantanan dan preman paling berkuasa. Yang kami perebutkan adalah sisa-sisa makanan yang terbuang begitu saja di pinggir-pinggir gang tanpa tempat sampah. Tanpa selokan, sehingga setiap pembuangan kamar mandi dan cucian piring, selalu bermuara ke badan gang. Hingga gang itu tak pernah kering, meski panas menyengat. Hingga dia benar-benar ditabalkan dengan nama gang becek.

Seperti malam ini, seusai pesta miras di hajatan Juragan Lapak, aku dan dia berusaha supaya lebih dulu tiba di gang becek. Kami melepaskan lelah, sambil meluruskan punggung di dinding-dinding rumah tanpa acian. Dengan sisa-sisa semen yang mengeras sebagai penyambung setiap bata. Sampai ujungnya terasa melukai punggung yang telanjang. Sampai rasa sakit mengalahkan rasa mabok.

Dan mata kami saling awas. Serupa dua babi yang siap saling serang. Mulut berliur bak orang sakit ayan. Tapi malam ini, hanya geram-geraman kami tunjukkan. Lalu tubuh terduduk di tanah becek. Beringust-ingsut, sampai duduk kami mendekat.

"Aku tak mau bertarung malam ini," katanya.

"Aku juga!" jawabku. "Aku bosan mempertaruhkan sesuatu yang sampah. Seperti menunjukkan kita sebenar-benar pecundang. Memperebutkan sisa makanan dan kencing orang-orang kaya." Aku mendongak menatap angkasa tanpa cahaya. Bulan tertutup awan gelap, pertanda hujan akan tiba.

"Ya, kita telah berlaku terlalu bodoh. Peraturangan demi pertarungan kita yang membuat suasana ricuh menakutkan setiap orang, tanpa sadar telah menyelamatkan harta orang-orang kaya yang tak tahu untung itu." Aku menarik napas panjang. Kuangsurkan sebatang sigaret kepadanya. Perbuatan pertamaku yang terbaik baginya. Dan mudah-mudahan bukan perbuatan terakhir.

"Aku juga memikirkannya, Kawan. Betapa mereka aman atas keterjagaan kita. Mereka menjadi tak perlu menyewa petugas penjaga malam. Mereka terbantu oleh kehadiran kita, tanpa imbalan sedikit pun. Sebab setiap makanan yang kita perebutkan di sini, adalah sisa-sisa mereka. Kalau pun kita tak melantaknya, pasti remah-remah itu akan mubazir juga. Paling tidak menjadi santapan anjing dan tikus."

"Lalu, menurutmu bagaimana?" tanyaku.

"Kita harus meminta upeti setiap harinya, atas keterjagaan ini. Kalau tidak..."

"Kalau tidak apa...?" kejarku.

"Batu-batu bisa membaca kaca jendela mereka." Dia menyeringai. Aku mengangguk setuju. Untuk pertama kalinya, setelah pertarungan yang berulang-ulang berbilang malam, kami saling memperkenalkan nama. Kusebut namaku si Bacot, karena mulutku tak pernah mau berhenti mengoceh. Disebutnya sebaris nama; Sato Mata, karena matanya cuma sebelah yang bisa melihat. Sebelahnya memutih tertutup katarak.

Maka besok malamnya kami sudah siap-siap dengan senjata potongan pipa besi yang panjangnya tak lebih satu meter. Ujungnya yang lancip kami geret di setiap terali perumahan. Berulang-ulang. Sampai satu demi satu penghuni perumahan keluar sambil menahan amarah yang memercik dari mata. Tapi tak termuntah dari mulut.

"Ada apa?" Seorang lelaki putih dengan timbunan lemak di tubuh, keluar melewati pintu rumahnya. Perutnya yang buncit telanjang, karena kaos putih berlogo angsa yang dikenakannya, tak sanggup lagi menutupi seluruh lekuk badannya yang overweight. 

"Kami meminta upeti atas penjagaan malammu yang lelap," jawabku.

"Kami tak menyuruh Bapak-bapak untuk berjaga?" Dia mencoba berkelit. 

"Biar pun tak disuruh, kami memang harus terjaga. Karena mata kami yang bebal, tak mau diajak tidur malam. Kami kelelawar yang hanya terlelap di siang hari. Cepatlah bayar upetimu, sebelum kaca-kaca jendela di rumahmu dapat mengenal setiap batu yang kami lemparkan."

Serupa leleran ingus yang dihisap sedemikian cepat, orang itu masuk ke dalam rumahnya. Dia memberi kami dua botol minuman import. Lalu, masing-masing lembaran uang cukup banyak. Ya, ini lebih dari cukup. Selepas berpesta minuman, ada uang di kantong untuk pesta-pesta selanjutnya. Sekalian mengajak beberapa anak buah kami mencicipi betapa enaknya menikmati makanan dan minuman yang bukan sisa-sisa orang kaya. Ya, belajarlah menjadi manusia bermartabat! Bukan sebagai pemakan sisa-sisa, seperti anjing dan tikus.

Begitulah, dari setiap rumah memberi upeti, meski pada awalnya enggan. Lalu kami menjadi juragan yang sanggup meneraktir anak buah. Puas menikmati upeti yang itu-itu juga, kami mulai berpikir untuk bisa dihormati sebagai penjaga malam.

Kami berdua meminta dibuatkan pos jaga di ujung dan pangkal gang. Kami tak mau terus-terusan berjaga di bawah atap langit. Yang ketika hujan, basah! Yang ketika cuaca gerah, digigit nyamuk! Dan orang-orang di situ berembuk. Dan orang-orang di situ ngedumel. Meski akhirnya pos jaga dibuat dengan lampu penerang bercahaya samar. Lalu masing-masing dihadiahi radio sebagai penghibur di kala sepi.

Tapi kami belum puas. Sebagai warga terhormat, kami minta dibelikan seragam penjaga malam. Seperti sebelumnya, hal itu mereka rapatkan. Dikeluh-kesahkan, lalu dibelikan seragam yang lipatannya rapi. 

Selanjutnya kami tak ingin menjadi anak buah orang kaya. Namun kami menjadi rekanan. Oleh sebab itu, anggota kami menggantikan berjaga malam, sementara kami berdiam di sebuah kantor bekas gudang minuman. 

Begitulah kehidupan kami. Dari sekedar sampah sampai berposisi terhormat. Hingga kami menjadi lebih ditakuti ketimbang petugas keamanan berseragam dan berpendidikan. Lebih aneh lagi, petugas hukum itu banyak yang mengabdi kepada kami. Karena lahan di tempat kami lebih basah daripada di kantornya yang megah. 

Atas saran seorang tauke bertubuh kurus dan suka madat, suatu senja di sebuah kafe bilyard, kami diusulkan ikut serta mencalonkan diri sebagai dewan rakyat. "Ayolah. Kalian cocok menjadi wakil rakyat. Penghasilan kalian akan bertambah, di samping upeti-upeti dari kami," katanya sambil mendudukkan perempuan berbadan montok di ujung lututnya.

"Ah, aku tak tamat esde. Si Sato Mata, membaca saja tak bisa," jawabku sekenanya. Membayangkan kelak berbaju safari atau jas dan berdasi, membuat tubuhku geli.

"Itu bisa diatur. Ijazah bisa dibeli. Segala urusan selesai dengan uang." Dia tertawa.

"Hmm, apa bisa?" Sato Mata menyela.

"Bisa! Dengan menjadi wakil rakyat, menjadi senjata kalian untuk mencalonkan diri sebagai  eksekutif. Misalnya walikota, atau gubernur. Bagaimana?"

Seperti mimpi saja rasanya. Tanpa menunggu waktu lama, aku bisa menjabat sebagai gubernur dan Sato Mata menjadi walikota. Orang-orang di gang becek dan turunannya menjadi bertambah senang. Segala bisnis mereka yang melanggar hukum, kami lindungi. Dari lokalisasi terselubung di tengah himpitan reklame tempat hiburan. Dari pabrik minuman beralkohol tinggi. Tempat perjudian. Tebak angka. Dan hukum kami  buat tebang pilih. Bila para mahasiswa atau orang agama meributkan tempat maksiat, kami berkilah, mereka-mereka itu telah memiliki badan hukum. Mengantongi ijin, sehingga biar pun usahanya maksiat, tetap dianggap legal.

Sekarang kalian dapat melihat kami muncul di televisi-televisi. Kami disebut dermawan. Kami dicap sebagai penguasa yang pro rakyat. Padahal tak seorang pun tahu, kalau kami hidup berawal dari gang becek dan jorok. Yang hingga sekarang, tetap berperilaku seperti gang becek dan jorok itu. Dan orang yang sedikit mengenal dan mengetahui sepak terjang kami, salah seorang adalah yang menulis cerita ini. Tapi tunggu saja. Bila kami beri dia upeti, pasti otaknya juga seperti sapi. Dia akan memuji-muji kami sampai mati.

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun