"Kalau tidak apa...?" kejarku.
"Batu-batu bisa membaca kaca jendela mereka." Dia menyeringai. Aku mengangguk setuju. Untuk pertama kalinya, setelah pertarungan yang berulang-ulang berbilang malam, kami saling memperkenalkan nama. Kusebut namaku si Bacot, karena mulutku tak pernah mau berhenti mengoceh. Disebutnya sebaris nama; Sato Mata, karena matanya cuma sebelah yang bisa melihat. Sebelahnya memutih tertutup katarak.
Maka besok malamnya kami sudah siap-siap dengan senjata potongan pipa besi yang panjangnya tak lebih satu meter. Ujungnya yang lancip kami geret di setiap terali perumahan. Berulang-ulang. Sampai satu demi satu penghuni perumahan keluar sambil menahan amarah yang memercik dari mata. Tapi tak termuntah dari mulut.
"Ada apa?" Seorang lelaki putih dengan timbunan lemak di tubuh, keluar melewati pintu rumahnya. Perutnya yang buncit telanjang, karena kaos putih berlogo angsa yang dikenakannya, tak sanggup lagi menutupi seluruh lekuk badannya yang overweight.Â
"Kami meminta upeti atas penjagaan malammu yang lelap," jawabku.
"Kami tak menyuruh Bapak-bapak untuk berjaga?" Dia mencoba berkelit.Â
"Biar pun tak disuruh, kami memang harus terjaga. Karena mata kami yang bebal, tak mau diajak tidur malam. Kami kelelawar yang hanya terlelap di siang hari. Cepatlah bayar upetimu, sebelum kaca-kaca jendela di rumahmu dapat mengenal setiap batu yang kami lemparkan."
Serupa leleran ingus yang dihisap sedemikian cepat, orang itu masuk ke dalam rumahnya. Dia memberi kami dua botol minuman import. Lalu, masing-masing lembaran uang cukup banyak. Ya, ini lebih dari cukup. Selepas berpesta minuman, ada uang di kantong untuk pesta-pesta selanjutnya. Sekalian mengajak beberapa anak buah kami mencicipi betapa enaknya menikmati makanan dan minuman yang bukan sisa-sisa orang kaya. Ya, belajarlah menjadi manusia bermartabat! Bukan sebagai pemakan sisa-sisa, seperti anjing dan tikus.
Begitulah, dari setiap rumah memberi upeti, meski pada awalnya enggan. Lalu kami menjadi juragan yang sanggup meneraktir anak buah. Puas menikmati upeti yang itu-itu juga, kami mulai berpikir untuk bisa dihormati sebagai penjaga malam.
Kami berdua meminta dibuatkan pos jaga di ujung dan pangkal gang. Kami tak mau terus-terusan berjaga di bawah atap langit. Yang ketika hujan, basah! Yang ketika cuaca gerah, digigit nyamuk! Dan orang-orang di situ berembuk. Dan orang-orang di situ ngedumel. Meski akhirnya pos jaga dibuat dengan lampu penerang bercahaya samar. Lalu masing-masing dihadiahi radio sebagai penghibur di kala sepi.
Tapi kami belum puas. Sebagai warga terhormat, kami minta dibelikan seragam penjaga malam. Seperti sebelumnya, hal itu mereka rapatkan. Dikeluh-kesahkan, lalu dibelikan seragam yang lipatannya rapi.Â