Brakkk! Gerobak baksoku dihantam sebuah mobil sedan biru metalik. Alamak! Jualanku berhamburan ke selokan. Kaca gerobak pecah-memecah. Kuah bakso melumer membasahi dari paha hingga jari-jari kakiku. Beruntung kuah bakso masih hangat-hangat kuku. Sekiranya mendidih, samalah rasanya seperti mendidihnya isi kepala ini menahan marah.
Aku mengamuk dan meminta ganti rugi. Seorang bocah laki-laki berseragam SMP, keluar dari dalam mobil itu. Tak ada niatnya meminta maaf kepadaku. Dia malahan melihat cemas bemper mobilnya yang penyok.
"Wah, gawat nih bro! Babe gue bisa marah besar," kata bocah itu kepada teman lakinya yang berambut jabrik.
"Bawa ke bengkel aja, selesai!"
Kedua bocah itu berlalu dari depanku tanpa dapat dicegah. Bahkan ketika aku meminta ganti rugi, bocah-bocah itu malah menyalahkanku karena salah memilih tempat berjualan. Ujung-ujungnya aku hanya bisa menulis nomor plat polisi mobil itu. Ujung-ujungnya aku harus berurusan dengan polisi, dan beruntung berurusan pula dengan polisi tetangga sebelah rumahku.
"Kami sudah melacak nomor plat polisi mobil itu. Tapi sepertinya kami tak ingin memperkeruh masalah, Pak." katanya santai.
"Bagaimana sampai memperkeruh masalah, Pak Sanib? Pertama, mobil itu menyeruduk dan menghancurkan barang dagangan saya. Kedua, pengemudinya masih bocah. Pasti belum memiliki rebewes." Aku kesal. Kukira Pak Sanib akan membantuku sebagai aparat negara dan tetangga.
"Mobil itu milik pejabat di kota ini, Pak!"
"Biarpun pejabat, tapi harusnya mendapat hukuman kalau melakukan pelanggaran."
"Tak bisa, Pak!"
Akhirnya aku hanya mendapat sedikit rasa belas-kasihan dari pemilik mobil itu. Meskipun tak cukup mengganti seluruh kerugian, tapi sebagai rakyat kecil aku harus mengalah.