Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Ibu terbangun karena banyak nyamuk. Mendadak Ibu mendengar suara lantai papan berderit. Seperti langkah orang yang berjalan sangat pelan.
Beberapa hari belakangan ini kampung mereka sedang tak aman. Kambing Pak Alim hilang. Rumah Pak Udi dibobol maling. Jangan-jangan ada pula maling masuk ke rumah mereka. Ibu mengelap keringatnya yang mengucur.
Aduh, bagaimana ini? Ayah sudah pergi meronda bersama Pak Irul. Ibu kemudian nekad berdiri sambil memegang sebatang kayu yang sudah jauh-jauh hari disiapkan di kolong tempat tidur.
"Maling! Maling! Ada maling....," jerit Ibu.
Ayah dan para peronda langsung mengepung rumah Ojo agar maling tak bisa lari. Ayah segera menemui Ibu yang sekarang tiba-tiba tersenyum malu. Mereka berbincang sebentar. Lalu Ayah kembali menemui para peronda yang siap dengan persenjataan masing-masing.
"Apakah malingnya masih di dalam rumah, Pak Ojo? Kita masuk saja dan menangkapnya. Bapak-bapak yang lain biarlah berjaga di luar rumah," kata Pak Irul bersemangat.
"Maaf, Bapak-bapak. Sebenanya tak ada maling di rumah kami. Seragam koboi si Ojo saja yang mengamuk." Ayah tersenyum malu seperti Ibu.
"Maksud Pak Ojo?" Pak Irul heran.
Ayah akhirnya menjelaskan bahwa yang membuat ulah itu adalah anaknya, si Ojo. Si Ojo sudah tak sabaran ingin mengenakan seragam koboinya. "Ibu Ojo pikir ada maling. Rupanya orang yang disangka maling adalah si Ojo."
Para peronda tertawa terbahak-bahak.Â
---sekian---