Lebaran masih lama. Tapi Ojo sudah dibelikan Ayah seragam koboi.Â
"Kalau puasa Ojo sampai lima belas hari, Ayah janji akan memberikan hadiah seragam koboi." Begitu kata Ayah pada malam pertama puasa.Â
Ojo sangat senang. Berkali-kali dia melihat baju lengan panjang kotak-kotak, celana jins, topi kobi dan sepatu berlaras tinggi itu. Dia ingin sekali mengenakannya. Sayang sekali, Ibu melarang. Ibu tak ingin seragam koboi itu kotor sebelum lebaran tiba.
"Apa, seragam koboi?" Mata Ijon melotot seperti mata ikan mas koki. "Wah, pasti kau akan kelihatan gagah." Tak sabar, Ojo bercerita kepada teman-temannya.
"Iya, Jo! Pakai aja sekarang. Mumpung belum buka puasa. Pestolannya ada nggak?" Arul menimpali.
"Wah, nggak ada! Tapi nggak apa-apa. Lebaran nanti aku beli di warung Bang Uud!" Ojo membusungkan dada. "Sekarang aku hanya bisa bercerita. Ibu tak mengijinkan aku memakainya."
Selepas shalat tarawih, Ojo tak bisa tidur. Pikirannya tetap pada seragam koboi itu. Ibu dan adik Lutfi sudah tidur sejak tadi. Ayah masih mengetik di ruang kerjanya.Â
Sebelum berbuka puasa, tiga kali Ojo melihat seragam koboi itu di lemari. Posisinya di laci bagian atas. Dia tak bisa menjangkaunya. Ah, kenapa sih Ibu tak membolehkan Ojo memakainya sekali saja. Pasti tak akan kotor!Â
"Belum tidur, Ojo?" Ayah sudah selesai mengetik. Ojo pura-pura memejamkan mata. Ketika Ayah menyalakan lampu, Ojo membuka mata lebar-lebar. "Tidurlah! Sahur nanti kau akan susah dibangunkan. Ayah mau ke rumah Pak Irul."
Ojo mengangguk. Lampu dimatikan lagi oleh Ayah. Suasana gelap. Tapi Ojo seolah melihat seragam koboinya tergantung di dinding. Seorang anak sebaya Ojo tiba-tiba muncul mengambil seragam koboi itu. Dia mengenakannya. Dia tertawa terbahak-bahak.Â
Ojo tersentak. Dia rupanya sudah mengkhayal yang tidak-tidak.
Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Ibu terbangun karena banyak nyamuk. Mendadak Ibu mendengar suara lantai papan berderit. Seperti langkah orang yang berjalan sangat pelan.
Beberapa hari belakangan ini kampung mereka sedang tak aman. Kambing Pak Alim hilang. Rumah Pak Udi dibobol maling. Jangan-jangan ada pula maling masuk ke rumah mereka. Ibu mengelap keringatnya yang mengucur.
Aduh, bagaimana ini? Ayah sudah pergi meronda bersama Pak Irul. Ibu kemudian nekad berdiri sambil memegang sebatang kayu yang sudah jauh-jauh hari disiapkan di kolong tempat tidur.
"Maling! Maling! Ada maling....," jerit Ibu.
Ayah dan para peronda langsung mengepung rumah Ojo agar maling tak bisa lari. Ayah segera menemui Ibu yang sekarang tiba-tiba tersenyum malu. Mereka berbincang sebentar. Lalu Ayah kembali menemui para peronda yang siap dengan persenjataan masing-masing.
"Apakah malingnya masih di dalam rumah, Pak Ojo? Kita masuk saja dan menangkapnya. Bapak-bapak yang lain biarlah berjaga di luar rumah," kata Pak Irul bersemangat.
"Maaf, Bapak-bapak. Sebenanya tak ada maling di rumah kami. Seragam koboi si Ojo saja yang mengamuk." Ayah tersenyum malu seperti Ibu.
"Maksud Pak Ojo?" Pak Irul heran.
Ayah akhirnya menjelaskan bahwa yang membuat ulah itu adalah anaknya, si Ojo. Si Ojo sudah tak sabaran ingin mengenakan seragam koboinya. "Ibu Ojo pikir ada maling. Rupanya orang yang disangka maling adalah si Ojo."
Para peronda tertawa terbahak-bahak.Â
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H