Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pohon Mangga dan Burung Parkit

8 Maret 2019   16:40 Diperbarui: 8 Maret 2019   16:46 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di halaman sebuah rumah, bersahabatlah seekor burung parkit dan sebatang pohon mangga. Hampir setiap hari mereka bertemu. Hingga di suatu siang yang cerah, pohon mangga terlihat sangat murung. Burung parkit kasihan. Apakah pohon mangga sedih karena burung parkit tak menemuinya kemarin?

"Kenapa kau kelihatan sedih? Ayo, tertawalah seperti biasa! Lihatlah, langit cerah! Matahari bersinar terang! Apa kau sedih karena aku tak datang kemarin? Maaf ya, kemarin para burung sedang rapat di hutan lindung."

Pohon mangga diam. Daun-daunnya bergerak pelan dihembus angin. Burung parkit kesal. Dia pura-pura ingin terbang meninggalkan pohon mangga.

"Tunggu, Parkit! Aku mau bicara." Pohon mangga seperti menghela napas. "Dua hari lagi kita tak akan berteman lagi."

Burung parkit terkejut. "Kenapa? Kau membenciku?"

"Bukan! Pak Mulia, pemilik halaman ini, akan menebangku. Kata Pak Mulia, aku sudah tua. Aku juga jarang berbuah. Daun-daunku yang menyerak, membuatnya harus setiap hari menyapu halaman." 

"Ini tak boleh terjadi! Aku akan membantumu. Aku akan memohon kepada Pak Mulia agar jangan menebangmu," kata burung parkit.

"Jangan! Nanti dia menangkapmu. Kau akan dimasukkan ke dalam sangkar." Pohon mangga berusaha mencegah niat temannya itu. Tapi burung parkit sudah terbang. Dia mendekati Pak Mulia yang sedang menanam singkong di belakang rumah.

Burung parkit berbicara kepada Pak Mulia. Dia memohon agar pohon mangga jangan ditebang. Tapi bagaimana mungkin Pak Mulia mengerti bahasa binatang? Dia hanya melotot melihat ada seekor burung parkit hinggap di sebatang singkong. Buru-buru Pak Mulia mengambil galah. 

"Suh, suh! Jangan dekat-dekat ke sini. Nanti si meong melihat dan memakanmu," katanya. Seekor kucing sedang duduk di tangga belakang rumah. Burung parkit pun buru-buru kembali menemui pohon mangga.

"Bagaimana? Apakah Pak Mulia setuju agar aku jangan ditebang?" tanya pohon mangga.

Burung parkit tertunduk lesu. Dia sudah kehabisan akal. Dia yang salah, kenapa berbicara kepada manusia, sementara manusia tak mengerti bahasa burung. Tapi bila dia tak membantu pohon mangga, tak ada lagi temannya berbincang. Tak ada pula tempatnya berteduh apabila matahari bersinar terang seperti siang ini.

Sampai sore mereka memikirkan cara terbaik agar Pak Mulia tak jadi menebang pohon mangga. Tapi kepala mereka malahan pusing tujuh keliling.

Besok paginya Pak Mulia sudah siap dengan kapak besar. Dia ditemani dua orang berbadan tegap seperti petinju. Dua temannya itu buru-buru mengikat pohon mangga dengan tali besar. Setelah tali direntangkan, Pak Mulia mulai mengayunkan kapaknya.

Tiba-tiba, "Tunggu, Pak Mulia! Apakah Pak Mulia tak mendengar suara itu?" kata salah seorang yang berbadan tegap itu.

"Suara apa?" Pak Mulia kebingungan.

"Itu suara burung yang ramai," jawabnya. "Di pohon mangga ini banyak burung. Dan itu, Pak. Ada sarangnya. Itu lagi. Itu. Wah, banyak sekali sarang burung di sini. Kasihan burung-burung itu kalau kita menebang pohon mangga ini."

Pak Mulia terdiam sebentar. Kemudian dia tersenyum sambil meletakkan kapak di atas tanah. "Kau, benar, Amarkum. Pohon mangga ini memang sudah jarang berbuah. Tapi batangnya masih kokoh. Kalau kita tetap menebangnya, kasihan burung-burung itu."

Akhirnya pohon mangga tak jadi ditebang. Burung Parkit dan pohon mangga tersenyum lega. Untung saja burung parkit memiliki ide jitu tadi malam. Maka, sejak shubuh, dia dan sekawanan burung dari hutan lindung, buru-buru membuat sarang di dahan-dahan pohon mangga. Kemudian mereka bernyanyi-nyanyi saat Pak Mulia hendak menebang pohon mangga itu.

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun