Burung parkit tertunduk lesu. Dia sudah kehabisan akal. Dia yang salah, kenapa berbicara kepada manusia, sementara manusia tak mengerti bahasa burung. Tapi bila dia tak membantu pohon mangga, tak ada lagi temannya berbincang. Tak ada pula tempatnya berteduh apabila matahari bersinar terang seperti siang ini.
Sampai sore mereka memikirkan cara terbaik agar Pak Mulia tak jadi menebang pohon mangga. Tapi kepala mereka malahan pusing tujuh keliling.
Besok paginya Pak Mulia sudah siap dengan kapak besar. Dia ditemani dua orang berbadan tegap seperti petinju. Dua temannya itu buru-buru mengikat pohon mangga dengan tali besar. Setelah tali direntangkan, Pak Mulia mulai mengayunkan kapaknya.
Tiba-tiba, "Tunggu, Pak Mulia! Apakah Pak Mulia tak mendengar suara itu?" kata salah seorang yang berbadan tegap itu.
"Suara apa?" Pak Mulia kebingungan.
"Itu suara burung yang ramai," jawabnya. "Di pohon mangga ini banyak burung. Dan itu, Pak. Ada sarangnya. Itu lagi. Itu. Wah, banyak sekali sarang burung di sini. Kasihan burung-burung itu kalau kita menebang pohon mangga ini."
Pak Mulia terdiam sebentar. Kemudian dia tersenyum sambil meletakkan kapak di atas tanah. "Kau, benar, Amarkum. Pohon mangga ini memang sudah jarang berbuah. Tapi batangnya masih kokoh. Kalau kita tetap menebangnya, kasihan burung-burung itu."
Akhirnya pohon mangga tak jadi ditebang. Burung Parkit dan pohon mangga tersenyum lega. Untung saja burung parkit memiliki ide jitu tadi malam. Maka, sejak shubuh, dia dan sekawanan burung dari hutan lindung, buru-buru membuat sarang di dahan-dahan pohon mangga. Kemudian mereka bernyanyi-nyanyi saat Pak Mulia hendak menebang pohon mangga itu.
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H