Di halaman sebuah rumah, bersahabatlah seekor burung parkit dan sebatang pohon mangga. Hampir setiap hari mereka bertemu. Hingga di suatu siang yang cerah, pohon mangga terlihat sangat murung. Burung parkit kasihan. Apakah pohon mangga sedih karena burung parkit tak menemuinya kemarin?
"Kenapa kau kelihatan sedih? Ayo, tertawalah seperti biasa! Lihatlah, langit cerah! Matahari bersinar terang! Apa kau sedih karena aku tak datang kemarin? Maaf ya, kemarin para burung sedang rapat di hutan lindung."
Pohon mangga diam. Daun-daunnya bergerak pelan dihembus angin. Burung parkit kesal. Dia pura-pura ingin terbang meninggalkan pohon mangga.
"Tunggu, Parkit! Aku mau bicara." Pohon mangga seperti menghela napas. "Dua hari lagi kita tak akan berteman lagi."
Burung parkit terkejut. "Kenapa? Kau membenciku?"
"Bukan! Pak Mulia, pemilik halaman ini, akan menebangku. Kata Pak Mulia, aku sudah tua. Aku juga jarang berbuah. Daun-daunku yang menyerak, membuatnya harus setiap hari menyapu halaman."Â
"Ini tak boleh terjadi! Aku akan membantumu. Aku akan memohon kepada Pak Mulia agar jangan menebangmu," kata burung parkit.
"Jangan! Nanti dia menangkapmu. Kau akan dimasukkan ke dalam sangkar." Pohon mangga berusaha mencegah niat temannya itu. Tapi burung parkit sudah terbang. Dia mendekati Pak Mulia yang sedang menanam singkong di belakang rumah.
Burung parkit berbicara kepada Pak Mulia. Dia memohon agar pohon mangga jangan ditebang. Tapi bagaimana mungkin Pak Mulia mengerti bahasa binatang? Dia hanya melotot melihat ada seekor burung parkit hinggap di sebatang singkong. Buru-buru Pak Mulia mengambil galah.Â
"Suh, suh! Jangan dekat-dekat ke sini. Nanti si meong melihat dan memakanmu," katanya. Seekor kucing sedang duduk di tangga belakang rumah. Burung parkit pun buru-buru kembali menemui pohon mangga.
"Bagaimana? Apakah Pak Mulia setuju agar aku jangan ditebang?" tanya pohon mangga.