Pikiranku melayang-layang. Aku tak tahu lagi dia berbicara apa. Aku baru sadar masih di lokasi pemancingan saat dia permisi pulang duluan. Sementara hatiku berkecamuk. Benarkah pendapatnya tentang Habib? Baikkah mertuaku itu kepada cucu-cucunya? Ah, tak mungkin! Dia terlalu jahat karena telah mencerabut kasih-sayangku atas anak-anakku sendiri.
Pulang ke rumah Habib, rasa lelah menggelayutiku. Setelah dipaksa makan sore oleh Rudi, aku langsung tertidur di kamar tempat tidur Bani dan Amin. Cukup lama, hingga terbangun aku menyadari malam sudah benar-benar larut. Rudi mendengkur halus di sebelahku.
Brengsek! Aku terlalu lelap tidur. Bukankah sore tadi kami mesti pulang ke rumah? Bagaimana dengan sekolah Bani dan Amin? Bagaimana pekerjaanku dan Rudi? Apakah kami harus libur semua?Â
Segera kuguncang bahu Rudi, lalu mengajaknya pulang.
"Malam-malam begini? Besok sajalah!" keluhnya.
"Besok kita harus bekerja, Pa! Anak-anak juga mesti sekolah!" Aku mengingatkannya. Tinggal Rudi yang membelakangiku. "Pa!"
"Mama sudah pikun, ya? Besok itu libur. Tanggal merah!" Rudi kembali tertidur.
Tanggal merah? Oh, kenapa aku sampai lupa? Kucari-cari Bani dan Amin. Tapi keduanya tak tidur sekamar dengan kami. Mungkin di kamar kakek mereka.
Aku berjinjit menuju kamar Habib. Kulihat pintunya masih terbuka sedikit. Cahaya lampu yang suram, terselip di sela pintu. Lalu pelan kudengar suara orang-orang berbincang. Wah, Habib benar-benar keterlaluan. Malam-malam begini dia masih mengajak anak-anakku mengobrol.
Aku hampir membentak Bani dan Amin sebagai tanda kemarahanku terhadap Habib. Namun aku seketika mengurungkannya. Aku menguping pembicaraan mereka.
"Mama itu berbeda dengan kakek." Nah, itu suara Bani.