Sejak anak-anak sudah bisa berkata "ah" kepadaku, tiba-tiba saja aku merasa tak lagi berhak menjadi mama mereka. Kukatakan demikian, karena mereka lebih penurut dan dekat dengan Habib. Habib adalah bapak mertuaku. Dia seorang pensiunan tentara kelas rendahan. Dia tinggal di komplek bilangan pinggiran kota.
Berumah kecil dengan kamar tidur dua. Ruang tamu satu. Dan ruang keluarga merangkap dapur. Serta satu buah kamar mandi yang menyatu dengan kakus. Tapi anehnya, anak-anak selalu betah di rumahnya.
Coba saja kalau tiba Sabtu sore, mereka sudah menggumpal kain ke dalam tas ransel dan langsung terbang bersama suamiku ke rumah Habib. Biasa, anak-anak akan menginap di rumah kakek mereka, sampai besok sorenya pulang setelah dijemput suamiku. Lebih parah lagi, jika libur sekolah sampai seminggu atau dua minggu, anak-anak sembilan puluh sembilan persen di rumah Habib. Satu persennya di rumah kami, tapi tak bercengkerama denganku. Mereka hanya melotot di depan televisi seharian, atau bermain playstation.
Oya, hampir lupa! Aku memiliki dua orang anak. Si sulung, Bani, berumur sembilan tahun dan duduk di kelas empat esde. Serta si bungsu, Amin, berumur lima tahun dan masih duduk di bangku tk.Â
Cerita mereka di rumah kami kerap tentang Habib! Ah, apa sih kehebatan lelaki berusia senja itu?
Aku merasa Habib telah meracuni otak anak-anak agar tak dekat dengan mamanya. Dia sangat pandai. Dia menyimpan "racun permen" bertoples-toples di lemari rumahnya. Lemari harta karun kata anak-anak. Juga ada timbunan biskuit-biskuit atau kue-kue dilumuri coklat.Â
Dan itu jelas sangat menakutkan! Aku cemas gigi anak-anak akan berlobang karena terlalu sering memakan yang manis-manis dan berasa coklat. Tapi aku selalu heran. Setiap kali anak-anak pulang ke rumah, gigi-gigi mereka tetap utuh serta telah disikat bersih.Â
Begitupun, aku tak menerima perlakuan Habib. Dia telah merampok perhatian anak-anak dari mamanya sendiri. Perduli amat meski dia mertuaku. Sebab, aku merasa, sejak berpacaran dengan Rudi, suamiku, Habib seolah tak senang denganku. Menurut Rudi itu hanya perasaanku saja. Namun aku tak bisa. Setiap Habib berbicara denganku, seakan sindiran saja. Seperti dulu dia berkata, "Nanti kalau sudah menikah, kau harus perhatian kepada Rudi, lho!" Dia tersenyum.Â
Belum lagi masalah anak-anak. "Kau harus lebih ramah dengan anak-anakmu. Jangan selalu memarahi mereka," ucapnya ketika dia berkunjung ke rumah beberapa bulan lalu. Ah, apa sih maunya dia? Aku seorang guru. Aku lebih tahu bagaimana mengurus anak-anak sendiri. Mengurus anak-anak orang di sekolahan aku sanggup, kenapa mengurus anak-anak sendiri tak bisa?
Aku heran juga. Habib pensiunan tentara. Orangnya kemungkinan berjiwa keras. Tegas serupa disiplin yang diterapkan ketika bertugas. Kenapa dia sangat lengket dengan anak-anak?
"Mau ke mana lagi?" tanyaku ketika Rudi kelihatan sudah rapi dan membawa perlengkapan pancing.