Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Maling Ternak

1 Maret 2019   16:37 Diperbarui: 1 Maret 2019   17:16 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku terkesiap. Bunyi riuh gonggongan anjing itu menandakan sesuatu yang tak baik. Pasti ada orang yang mencurigakan mereka di luar sana. Sigap kuambil tombak bertangkai kayu sepanjang tiga meter dari balik lemari. Saipah, istriku keluar dari kamar. Rambutnya awut-awutan karena buru-buru terbangun oleh gonggongan anjing itu.

Kami memang selalu waspada sebulan terakhir ini. Maling ternak hampir setiap malam berkeliaran di kampung kami. Dan hampir setiap malam pula mereka berhasil menggondol ternak warga. Apa saja, mulai dari ayam, itik, entok, kambing, domba bahkan sapi. Untuk ternak seukuran kambing dan sapi, mereka biasanya menggunakan senjata api rakitan. Begitu kabar yang tersebar dari mulut ke mulut.

Aku sangat takut bila si Belo, sapiku dan dua ekor anaknya bernasib serupa. Memang hingga sekarang, belum sekalipun maling menjambangi kandang ternakku. Tapi mungkin bukan untuk malam ini. 

"Siapa, Pak?" tanya Saipah. Matanya liar menatap dari kisi-kisi jendela. Di luar pasti sangat gelap. Saipah tak menatap apa-apa, selain selintas-dua melihat anjing-anjing kami yang berbulu putih berlari keluar halaman, kemudian kembali ke dalam dengan sangat risau. "Anjing-anjing kita menggonggong terus. Apa tak sebaiknya Bapak  melihat ke kandang si Belo?" Aku baru sadar. Cepat aku keluar rumh sambil menyuruh Saipah mengunci pintu rapat-rapat. Kalau ada yang mencurigakan, dia harus berteriak meminta tolong. 

Maka, aku mengendap-endap di dinding rumah, lalu menuju kandang si Belo. Suasana tenang di situ. Bara pembakaran masih ada. Asap bergulung bergabung bersama kabut malam yang turun perlahan. Belo mengibas-ngibaskan ekornya. Matanya santai, dan tak ketakutan. Kutepuk-tepuk bokongnya. Kulihat sekeliling, kalau-kalau ada gerakan mencurigakan di belakang rumpun-rumpun bunga teh dan putri malu. Tapi hanya ada goyangan sedikit, akibat gangguan angin malam.

Aku kembali ke dalam rumah. Tiga potong ubi kayu rebus di piring seng, telah terhidang di meja ruang tamu. Segelas kopi mengebul sebagai temannya. Aku duduk, menyandarkan punggung di kursi rotan. Saipah keluar lagi. Dia menggendong anak bungsu kami yang terbangun karena suara ramai gonggongan anjing tadi.

"Sanwani ke mana?" tanyaku. Dia anak tertuaku. Sejak orang sering  menanggap organ tunggal, baik karena ada pesta kawinan, atau sebagai hiburan saja, Sanwani mulai jarang di rumah. Biasanya dia pulang setelah matahari pukul tujuh menguasai jagat. Dia akan menemui kasurnya, lalu tidur sampai jam dua siang. Begitulah yang terjadi nyaris sebulan ini.

"Katanya ada organ tunggal di tempat Mang Kadari. Ramai pokoknya. Organ tunggal dari ibu kota kabupaten," jawab istriku. Dia kembali masuk ke kamar menidurkan si bungsu yang kepalanya sudah terkulai.

"Dia mau pulang jam berapa?" teriakku.

"Pulang seperti biasa. Paling tidak jam tujuh pagi." 

"Mulai pergajul dia sekarang. Membantu aku mengurus si Belo saja tak pernah. Apalagi diharapkan ke ladang.. Padahal tenaganya dibutuhkan buat menyiangi rumput yang tinggi. Sebentar lagi jagung kita panen, Bu! Aku tak ingin ular mengedam di rumput itu."

Saipah mendesah. Kemudian dia menjawab, "Ya, seharusnya Bapak yang berbicara kepada Sanwani."

"Mana mau dia mendengar nasihatku!"

"Terlebih-lebih aku!" Saipah keluar dari kamar. Aku menyantap sepotong ubi kayu rebus itu, lalu menyeruput kopi. "Susah mengasih tahu anak yang beranjak dewasa seperti dia."

Aku menerawang. "Aku tak terlalu memusingkan dia pulang pagi terus. Tapi saat ini kondisi sedang bahaya. Bagaimana kalau dia dikira salah seorang komplotan maling itu? Bisa babak belur dia. Suruh dia menyusul aku ke ladang besok pagi." Aku berjalan menuju kamar. Kurebahkan tubuh yang letih ini di atas kasur tanpa dipan. Saipah menyusul. Dia memindahkan si bungsu dari box-nya dan diletakkan di antara kami berdua.

* * *

Hampir pukul sepuluh pagi Sanwani tak muncul-muncul. Aku berniat pulang ke rumah untuk melabraknya. Dasar anak tak tahu diuntung! Kerjanya molor terus! Malam-malam selalu kelayapan tanpa tujuan. Mau jadi apa dia kalau dewasa? Menjadi pergajul seperti Sanif, yang setiap hari memalak orang di pasar?

Saat emosiku menanjak ke ubun, Sanwani muncul di ujung jalan setapak. Dia terseok-seok mendekatiku. Wajahnya buram karena belum dicuci. Matanya merah, selalu mengerjap-ngerjap seperti merasa pedih disengat cahaya matahari yang mulai memanas.

"Kenapa kau lama?" tekanku. Dia menguap. Dia tak menjawab selain masuk ke gubuk mengambil setangkup pisang goreng, kemudian meneguk kopi langsung dari mulut ceret. "Kerjamu main terus!"

"Memangnya kenapa, Pak? Aku masih mengantuk! Tadi aku pulang jam delapan pagi."

"Pulang darimana?"

"Dari organ tunggal yang ditanggap Mang Kadari!" balasnya.

"Sanwani, Sanwani! Mau jadi apa kau, Nak! Kerjamu setiap hari tak jelas. Itulah penyebab kau tak melanjutkan sekolah ke  SMA."

"Bukannya karena Bapak tak memiliki biaya menyekolahkan aku?" tembaknya. Aku terdiam. 

"Ya, setidak-tidaknya membantulah di ladang ini. Kalau tidak, bekerjalah seperti Samiun. Berjualan di pasar, dan pulang-pulang kantong sudah penuh." Aku tak menatapnya. Dia, kalau sudah tersudut, bisanya hanya balik menyalahkan itulah. Mencari-cari kambing hitam!

Dia menguap lagi. Sambil berkacak-pinggang, dia menatap tongkol-tongkol jagung yang gemuk. "Pak, aku ada rencana ikut teman-teman ke kecamatan sebelah. Mungkin menetap sementara di sana sekitar sebulan."

"Untuk apa?" 

"Karang taruna di sana ada kegiatan. Kumpul-kumpul sambil mengadakan pelatihan menjadi penulis."

Aku tertawa. Mataku berair. "Sejak kapan kau ingin menjadi penulis?"

"Sejak pagi ini aku mengatakan ingin pergi ke kecamatan sebelah!"

"Begitukah?" Tawaku semakin keras.

"Ada yang salah, Pak?" Dia melotot. Aku membuang tatap.

"Iyalah! Kalau kau memang ingin, pergilah. Tapi tanya dulu ibumu, apakah dia mengijinkanmu!"

* * *

Saat aku menyiangi rumput di ladang, tiba-tiba Esta, lelaki yang bersebelahan ladang denganku, muncul terburu-buru. Napasnya yang sengal pertanda dia membawa berita buruk. Tentang apakah? Apa tentang keluargaku? Pantas saja sudah sesiang ini Saipah belum muncul membawa ransum. 

"Ada apa, Esta?"

"Aku membawa berita bagus. Di kampung sebelah, serombongan maling ternak ditangkap warga dibantu polisi. Kabarnya merekalah yang selama ini mencuri ternak di kampung kita?"

"Syukurlah! Akhirnya mereka mendapat ganjaran. Mudah-mudahan besok-lusa tak ada lagi maling ternak di kampung kita."

Aku mengajak Esta masuk ke dalam gubuk. Tak ada yang mesti disantap berdua di situ. Saipah belum mengantarkan ransum. Jadilah kami berbas-bus asap rokok sambil menatap jagung-jagung yang riap-riapan dihembus angin.

"Tapi aku juga membawa berita buruk." Esta membuang pandang ketika aku menatap matanya. 

"Berita buruk apa?"

"Salah seorang maling itu adalah Sanwani. Anakmu!"

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun