"Sanwani, Sanwani! Mau jadi apa kau, Nak! Kerjamu setiap hari tak jelas. Itulah penyebab kau tak melanjutkan sekolah ke  SMA."
"Bukannya karena Bapak tak memiliki biaya menyekolahkan aku?" tembaknya. Aku terdiam.Â
"Ya, setidak-tidaknya membantulah di ladang ini. Kalau tidak, bekerjalah seperti Samiun. Berjualan di pasar, dan pulang-pulang kantong sudah penuh." Aku tak menatapnya. Dia, kalau sudah tersudut, bisanya hanya balik menyalahkan itulah. Mencari-cari kambing hitam!
Dia menguap lagi. Sambil berkacak-pinggang, dia menatap tongkol-tongkol jagung yang gemuk. "Pak, aku ada rencana ikut teman-teman ke kecamatan sebelah. Mungkin menetap sementara di sana sekitar sebulan."
"Untuk apa?"Â
"Karang taruna di sana ada kegiatan. Kumpul-kumpul sambil mengadakan pelatihan menjadi penulis."
Aku tertawa. Mataku berair. "Sejak kapan kau ingin menjadi penulis?"
"Sejak pagi ini aku mengatakan ingin pergi ke kecamatan sebelah!"
"Begitukah?" Tawaku semakin keras.
"Ada yang salah, Pak?" Dia melotot. Aku membuang tatap.
"Iyalah! Kalau kau memang ingin, pergilah. Tapi tanya dulu ibumu, apakah dia mengijinkanmu!"