Saipah mendesah. Kemudian dia menjawab, "Ya, seharusnya Bapak yang berbicara kepada Sanwani."
"Mana mau dia mendengar nasihatku!"
"Terlebih-lebih aku!" Saipah keluar dari kamar. Aku menyantap sepotong ubi kayu rebus itu, lalu menyeruput kopi. "Susah mengasih tahu anak yang beranjak dewasa seperti dia."
Aku menerawang. "Aku tak terlalu memusingkan dia pulang pagi terus. Tapi saat ini kondisi sedang bahaya. Bagaimana kalau dia dikira salah seorang komplotan maling itu? Bisa babak belur dia. Suruh dia menyusul aku ke ladang besok pagi." Aku berjalan menuju kamar. Kurebahkan tubuh yang letih ini di atas kasur tanpa dipan. Saipah menyusul. Dia memindahkan si bungsu dari box-nya dan diletakkan di antara kami berdua.
* * *
Hampir pukul sepuluh pagi Sanwani tak muncul-muncul. Aku berniat pulang ke rumah untuk melabraknya. Dasar anak tak tahu diuntung! Kerjanya molor terus! Malam-malam selalu kelayapan tanpa tujuan. Mau jadi apa dia kalau dewasa? Menjadi pergajul seperti Sanif, yang setiap hari memalak orang di pasar?
Saat emosiku menanjak ke ubun, Sanwani muncul di ujung jalan setapak. Dia terseok-seok mendekatiku. Wajahnya buram karena belum dicuci. Matanya merah, selalu mengerjap-ngerjap seperti merasa pedih disengat cahaya matahari yang mulai memanas.
"Kenapa kau lama?" tekanku. Dia menguap. Dia tak menjawab selain masuk ke gubuk mengambil setangkup pisang goreng, kemudian meneguk kopi langsung dari mulut ceret. "Kerjamu main terus!"
"Memangnya kenapa, Pak? Aku masih mengantuk! Tadi aku pulang jam delapan pagi."
"Pulang darimana?"
"Dari organ tunggal yang ditanggap Mang Kadari!" balasnya.