Aku tersenyum lagi. Tapi tak kepada cermin. Aku tersenyum melihat sepasang capung yang kawin di halaman rumah.
"Bagaimana, ya?"
Sungguh sudah berulangkali lelaki yang sedang berbicara di telepon sekarang ini, Â mengajakku bertemu di kafe dekat Kambang Iwak. Hampir setengah tahun belakangan ini, setelah tentu saja suamiku seperti main mata dengan perempuan lain.
Dia Hilal. Adik kelasku semasa kuliah. Cintanya kepadaku, katanya seluas samudera. Meskipun kukatakan aku lebih tua darinya, Hilal memiliki jawaban yang cocok, "Aku ingin memacarimu, Mbak. Bukan memacari umurmu. Peduli kata orang pabila kelak kita menikah. Jarak umur hampir tiga tahun di antara kita, kurasa tak akan terlihat."Â
Hilal benar-benar percaya diri. Sama percaya dirinya ketika dia nekad menemui Warok, Â suamiku. Ketika itu Warok berniat melamarku. Kau tahu, Hilal akhirnya harus mendapat tiga jahitan di bibir. Kau tahu, Warok telah menghajarnya.
Ya, kau benar, Hilal telah mengatakan kepada Warok bahwa dia yang berhak melamarku. Dia yang pertama mengenalku, bukan Warok. Hasilnya pun jelas, di kalah oleh amukan Warok.
Aku juga yang salah, iseng-iseng menelepon Hilal ketika untuk pertama kalinya aku mencurigai suamiku main mata dengan perempuan lain. Hilal belum menikah. Hilal tetap menyimpan cintanya kepadaku. Maka, wajar saja dia mengambil kesempatan atas kesalahan yang kuperbuat.
Meskipun bukan seperti serangan torpedo, tapi dia rutin meneleponku setiap pekan. Terkadang Warok yang mengangkat. Otomatis Hilal buru-buru menutup teleponnya. Warok bukan seorang pencuriga. Dia hanya mengumpat bahwa itu perbuatan orang iseng.
"Bagaimana, Mbak?"
"Entahlah! Yang jelas aku telah dihajar Warok untuk kesekian kalinya."
"Untuk kesekian kali pula aku mengajak Mbak ketemuan."