Aku hampir menangis. Midin menenangkanku. Seumur-umur, baru sekali ini aku nyaris gagal berbisnis. Biasanya, dua jam sebelum mayit tiba di pemakaman, pekerjaanku dan Midin telah sempurna. Aduh, aku malu! Bagaimana mungkin seorang penggali kubur yang kapalan, gagal menggali sebuah kuburan untuk satu orang saja. Padahal sebelumnya aku dan Midin sanggup mengali dua---bahkan lebih---kuburan, per harinya. Sekarang? Ya, Allah, mau kuletakkan di mana wajah ini.
Akhirnya kami memindahkan lokasi penggalian ke dekat pekuburan penduduk. Aku dan Midin harus mengeluarkan tenaga ekstra karena waktunya tinggal setengah jam. Namun belum sepuluh menit berselang, mata pacul Midin sekonyong menyentuh batu.
"Paculku mengenai batu!" gerutunya.
Aku mendecak. "Kurangajar! Apakah pekuburan ini telah menjadi tambang batu?"
Kesal beradu cemas mengganduli kepala kami. Bunyi sirine mobil jenasah menambah kekesalan serta kecemasan. Orang suruhan keluarga Sa'ad datang lagi. Menanyakan apakah kuburan sudah selesai.
"Belum, Pak! Ada batu."
"Kurangajar! Kalian bisa bekerja apa tidak?"
Aku meminta maaf dengan berurai air mata.
"Kau ingin membuat sabotase, ya? Kau tak tahu orang yang akan dikubur adalah pejabat teras di daerah ini?"
Aku tak dapat menjawab. Beberapa lelaki berseragam mendorong tubuhku. Mereka mencoba memacul tanah. Lalu bunyi dentingan keras menggema. Batu-batu seperti tak beranak-pinak lagi, tapi sampai beranak cucu.
Aku tak  tahu kejadian selanjutnya. Aku dan Midin digiring ke pos polisi. Kami diinterogasi. Dibentak-bentak. Dituduh sebagai pemberontak.