"Iya! Barangkali batunya beranak," jawabku sekenanya. Tanpa menanggapi ocehanku, dia mengambil linggis. Kami berupaya mengeluarkan batu itu. Hanya saja, batu yang sekarang lebih bandel. Meskipun telah lebih setengah jam berjuang, batu itu tak bisa didongkel. Aku menyerah. Midin pasrah.Â
Sejam berlalu, batu tetap batu. Dua jam terlewat, batu bertambah rapat. Seorang suruhan dari rumah mendiang Sa'ad, tergopoh mendekati kami.
"Bagaimana, sudah selesai menggali kuburnya, Bapak-bapak?" tanyanya berbasa-basi. Padahal dia sudah melihat penggalian baru mencapai batas lutut. Â Aku dan Midin mengedikkan bahu.
"Ada batu besarnya. Susah, Pak!" Midin berkata jujur.
"Wah, bagaimana ini? Waktunya tinggal setengah jam lagi. Mayit sudah dishalatkan. Bagaimana? Bagaimana?" Dia tak lebih blingsatan dari kami.
"Pindah saja, Pak! Gabung dengan kuburan penduduk," usulku. Dia menggeram. Diteleponnya seseorang. Kemudian dia menatapku.Â
"Baiklah! Pindahkan saja!"
"Ke mana?" Midin bingung.
"Terserah! Yang penting bisa menguburkan jasad Pak Sa'ad." Dia berang.
"Tapi waktunya sangat sempit, Pak!" kejarku.Â
"Pokoknya harus bisa!"