Suara sirine mobil jenasah selalu membuat hati ini berbunga. Berarti lobang yang kugali, akan menemui pemiliknya. Ach, aku tersenyum lega. Aku membayangkan lembaran uang yang segera diterima, usai pemakaman dan doa-doa digaungkan. Ahli bait si mati pasti mengamplopkannya kepadaku. Jumlahnya sesuai perjanjian. Bisa empat ratus ribu, atau kalau berakhir dengan nego alot, aku ikhlas melepas nominal tigaratus ribu.
Mungkin aku bisa disebut si gila. Karena berita kematian, taklah membuat diri ini turut berkabung. Aku malahan sumringah. Siap-siap dengan perangkat menggali; pacul dan sekop. Lalu memanggil Midin, teman yang setia membantuku.Â
Tapi aku tak merasa bersalah berlaku demikian. Menggali kubur adalah telapak rejekiku. Tentu aku merasa senang ketika ada orang mati. Coba, kalau setiap hari tak ada yang mati. Anak-istriku mau makan apa? Pekerjaan yang ada dan keahlianku hanya itu. Sama saja dengan dokter. Kalau orang di seluruh dunia ini tak ada yang sakit, dia dan keluarganya mau makan apa?Â
* * *
"Pak Man ada, Bu?" Suara Midin terdengar olehku di halaman depan rumah. Segera kuurungkian niat tidur siang. Sambil menarik sigaret di laci meja, aku menemuinya. Istriku telah menghidangkan segelas air putih dan sepiring kecil roti sumbu. Hmm, istriku memang selalu senang bila dia datang. Kedatangannya kerap mendatangkan rejeki.
Benar saja, ketika aku duduk di depannya, mulutnya langsung menyerocos tentang rejeki di pemakaman. "Kau sudah tahu siapa yang meninggal, Pak Man?" Dia mencoba mengujiku. Kujawab dengan gelengan. Sejak dini hari tadi, aku tak keluar rumah. Kepalaku pusing bukan main. Itulah aku tak tahu berita yang terjadi di luar sana.
"Belum tahu? Kasihan! Padahal seluruh penduduk sudah dua jam lalu mengetahui berita kematiannya. Sekarang mereka malahan berkumpul di tempat kemalangan itu. Seolah sedang mencari tontonan. Atau bisa jadi mengharap rejeki dari keluarga si mayit. Siapa tahu keluarganya itu mengadakan sedekah massal dulu, sebelum jenasah dikuburkan."
Orang yang diceritakan Midin, pasti kaya berat. Tapi siapa dia? Mungkinkah si Lisoi? Oh, mustahil! Dia kan sama miskinnya denganku. Atau Rofii? Â Ah, tak mungkin juga. Dia masih sangat muda untuk meninggalkan dunia ini.
"Pak Sa'ad yang meninggal!" cetus Midin sambil menjentikkan jari. Ingatanku langsung melayang ke wajah seseorang yang berwajah bulat seperti tampah. Senyum orang itu selalu lepas. Tapi kerap tertangkap olehku di balik matanya, ada senyuman licik. Bagi orang awam, senyum itu hanya sekedar pembuktian keramahan. Tak lebih! Sementara aku, yang di masa kecil pernah bergaul dengannya, tak bisa ditipu. Makanya aku kurang sreg. Seperti tak sregnya aku manakala orang-orang memujinya. Memuji setinggi langit, bahwa dia kaya dan dermawan. Dia sang panutan. Padahal, meskipun dikatakan orang-orang aku terlalu naif, tapi tetap saja diri ini menganggap Sa'ad penipu. Bagaimana tidak! Kutahu dia bukan berotak encer. Dia bebal serupa kerbau. Keluarganya juga tak hebat-hebat amat. Bapaknya tengkulak. Ibunya lintah darah. Persepadanan yang pas! Sayang orang-orang telah silau atas kebaikan semu Sa'ad. Maka ketika ada pemilihan dewan daerah, dia langsung terpilih dengan mudah. Kutebak kelicikannya semakin menggurita.
"Aku malas, ah!"
"Aku tahu kau benci kepadanya. Tapi ini rejeki kita. Ayolah! Jangan terlalu melankolis. Sebagai penggali kubur, kita tak perlu melihat siapa yang akan dikubur. Tapi lihat betapa banyak bayaran kita," nasehat Midin.