"Mak Lena ke mana?"Pikiranku berkecamuk.Aku menebak dia sedang sakit.Sebungkus roti kuangsurkan kepada dua anak itu.Mereka saling tatap.Kuangsurkan lagi dengan raut lebih ramah.Si sulung akhirnya mengambil roti itu dengan malu-malu."Mak ke mana?" ulangku.
"Sakit!" jawab si sulung dengan wajah tertunduk.
"Ada di dalam rumah, ya?"Aku melangkah menuju pintu belakang.Tapi tanganku urung memegang pegangan pintu.
"Eh, Pak Suras.Sudah lama, Pak?"Seseorang menyapaku. Dia Irul, tukang becak langganan istriku. "Mencari Mak Lena, ya?Dia di rumah sakit. Mari aku antar, Pak. Motor biar titip di sini saja."
Pikiranku bertambah berkecamuk.Apakah penyakit encok Mak Lena semakin parah hingga dia harus dibawa ke rumah sakit?Bagaimana dengan biaya berobatnya?Bagaimana kalau dia harus dirawat?Dua anaknya kemudian kuajak turut serta.
"Tadi ada orang berseragam ke rumah Mak Lena, Pak!" kata Irul ngos-ngosan.Becak berjalan lambat di jalan berlobang.
"Orang berseragam?Untuk apa?"
"Mereka memasang patok. Tak tahu untuk apa. Kabarnya setelah orang itu pergi, Mak Lena mencoba melepas patok itu.Tapi saat menarik patok, Mak Lena terjungkal.Kepalanya berdarah karena terantuk kayu."
Hanya itu.Irul kemudian diam. Aku juga diam. Ketika bertemu Mak Lena di rumah sakit dengan kepala diperban, barulah aku mendapat cerita sebenarnya.
Kata Mak Lena, orang berseragam itu adalah petugas bank. Tanpa setahu Mak Lena,rupanya dulu sebelum minggat, suaminya menggadaikan surat rumah ke bank. Sialnya, Mak Lena tak awas, hingga tak curiga bahwa surat rumah sudah tak ada. "Kalau orang bank tak mematok tanah, Mak tak tahu kalau suami Mak telah berhutang ke bank!"
Artinya rumah Mak Lena tergadai sudah.Pasti rumah itu sudah dalam pengawasan bank.Bertambah pula empatiku kepada perempuan itu.Mau tinggal di mana dia---anak beranak--- bila tak punya rumah?