Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mak Lena Pempek

20 Februari 2019   23:13 Diperbarui: 20 Februari 2019   23:30 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Panggil dia Mak Lena. Di usia kepala empat, dia harus menjadi pejuang bagi kedua anaknya yang masih balita. Konon, dia menjanda sejak dua tahun lalu. Suaminya minggat entah ke mana. Jadilah dia berusah-payah memenuhi kebutuhan tiga perut. Perutnya sendiri, pun dengan perut dua anaknya.

Belum lagi harus menangung derita encok yang diidapnya tak kurang dari dua tahun lalu. Entah karena pikiran berkecamuk karena ditinggal suami, tak hanya hatinya yang renta, jasmaninya juga rontok. Beruntung dia tak stress, gila! Dua permatanya itulah yang membuat Mak Lena bertahan menata masa depan.

Supaya kau tahu, pempek Mak Lena itu sangat lezat. Tak hanya aku, istri dan Sisil, anakku, paling setia menunggunya setiap pagi di ambang pintu. Tanpa mencomot pempek buatan Mak Lena, sambil berdecap kepedasan merasai cuka yang tajam, pagi rasanya hambar. 

Lagi pula, kami rutin membeli jualan Mak Lena itu, karena bercampur rasa empati kami terhadapnya. Pernah sekali-dua istriku sengaja melebihkan pembayaran pempek, tapi Mak Lena selalu mengembalikannya. Mak Lena tak ingin hidup hanya karena belas kasihan orang lain. 

"Pak, Mak Lena belum datang juga," kata istriku dengan wajah masam. Setengah jam lalu dia sudah menunggu Mak Lena di teras rumah. Entah apa saja yang dilakukannya membunuh rasa jenuh. Mulai menyirami tanaman, memberi makan ayam, menjemur pakaian dan merapikan berulangkali sisiran rambut Sisil.

"Mungkin sebentar lagi, Bu! Sabar saja."Aku membetulkan krah baju. Sepuluh menit lagi, setelah mengantar Sisil ke sekolah, aku harus tiba di kantor. Mungkin Pak Saud sudah menungguku dengan wajah bosan. Janjinya, hari ini kami ke luar kota untuk urusan perusahaan.

"Nanti Bapak tak makan pempek."Istriku mengangsurkan sisir agar rambutku dirapikan kembali.

Aku tersenyum.Urusan sisiran rambut memang selalu direpotkannya."Biarlah! Tadi aku sudah sarapan nasi goreng. Sisil juga.Sesekali tanpa pempek Mak Lena, tak apalah."

"Tapi sisil merajuk ingin menunggu."

"Sampai kapan?"

Sisil muncul di ambang pintu.Kepalanya ditekuk.Bila mendengar suaraku sedikit tegas, selalu saja rasa takutnya mencuat.Aku merasa bersalah.Tapi dengan suara tegasku barusan, membuat Sisil berhenti merajuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun