"Nanti sore Bapak ke rumah Mak Lena.Pokoknya Bapak beli pempek yang banyak."Aku tersenyum.Sisil meringis.
* * *
Sebulan lalu, aku pernah berkunjung ke rumah Mak Lena.Hatiku terenyuh melihat kondisi rumahnya yang semakin reot.Beberapa bagian dindingnya disangga kayu. Engsel bagian atas pintu depan, tanggal, hingga posisi pintu miring.Â
Hanya dua anaknya yang kutemukan tengah bermain di ruang tamu merangkap dapur.Seperti biasa, Mak Lena memang sedang keliling menjajakan pempek sesiang itu.Dua anaknya ketakutan dan saling berpelukan.Dengan menahan air mata, aku kemudian ke luar rumah sambil tak lupa meletakkan amplop berisi uang di atas meja.Aku berharap Mak Lena bisa terbantu, sekaligus dia menolongku membersihkan harta dengan bersedekah.
Tapi selepas shalat maghrib, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu rumahku. Tebak saja siapa yang datang. Ya, Mak Lena! Dia mengembalikan amplop pemberianku dengan kondisi masih tertutup rapat.Berulangkali istriku memaksa agar Mak Lena ikhlas menerimanya. Sayang sekali, Mak Lena tetap ngotot. Untunglah dia akhirnya mau menerima amplop dengan syarat dia dibolehkan bekerja di rumahku.
Sejak itu aku tak berani lagi membantu Mak Lena dalam bentuk apapun.Aku malahan merasa berdosa.Bagaimana tidak, hampir seminggu setelah menerima amplop itu, Mak Lena rutin mengurusi seluruh barang kotor di rumahku.Dari mencuci piring, pakaian, membersihkan jendela sampai rumput di halaman yang tak seberapa.
Cerita istriku pun menambah rasa masygul.Bahwa kerap setiap kali bekerja, Mak Lena jeda sekadar menahan deraan encok yang menyerang sendi-sendi tubuhnya.Kendati demikian, dia tetap ngotot bekerja.
Cerita lainnya, Mak Lena terpaksa berhenti berjualan.
* * *
Senyap menyambutku di rumah Mak Lena.Apakah perempuan itu belum selesai berjualan? Mustahil! Sekarang sudah hampir jam lima sore.Â
Beruntunglah aku melihat dua anaknya sedang bermain di belakang rumah.Melihat kedatanganku, tak membuat mereka setakut dulu.Mungkin mereka sedikit hafal wajahku.