"Bagaimana katanya? Kapan rencana mau datang ke rumah?" Dia sangat berharap berita bagus yang akan keluar dari mulutku. Meskipun dia tahu itu mustahil. Aku pasti menjawab dengan gelengan.
Laode seorang anak Jepang-Jawa. Perkara sukunya Jawa, Mak tak perduli. Dia malahan senang, sebab silsilah keluarga kami memang tetap terkait dengan leluhur di Tanah Jawa. Sebaliknya darah Jepang yang mengalir di tubuh Laode, telah membuat Mak menggelegak. Mak benci Jepang, seperti bencinya dia terhadap tikus-tikus yang setiap musim panen padi selalu melantak persawahan kami.
Dulu sebelum menikah dengan Bak, Mak berpacaran dengan seorang guru desa. Hampir sepuluhtahun mereka berhubungan. Begitu rencana menikah sudah matang diatur, pacar Mak tiba-tiba berurusan dengan tentara Jepang. Pacar Mak meludahi wajah seorang tentara Jepang yang menyuruhnya mencium sepatu Jepang itu. Akhirnya sebagai balasan air ludah, si Jepang memberondong pacar Mak seperti menghantam belasan pejuang Indonesia. Sejak saat itulah Mak paling tak setuju dengan segala yang berbau Jepang.
"Mak tak menyutujui hubungan kita, kan? Mak pasti lebih menginginkan abang menikahi perempuan pribumi tulen. Bukan perempuan berdarah campuran sepertiku."
Aku mendesah. Senja mulai merapat. Tapi aku tak memiliki jawaban apa-apa.
* * *
Tak kusangka wajah tuanya menjadi sedemikian keras. Matanya melotot. Keningnya menegang. Sesaat dia berhenti mengaduk secangkir kopi yang hendak dihidangkan kepada Bak. Dia belum mau menjawab. Setelah menghidangkan secangkir kopi itu di hadapan Bak, lalu mengambil sulaman yang terbengkalai, barulah dia duduk di depanku.
"Tetap saja aku tak menyetujui rencana kalian, Malian. Aku tak ingin kau menikahi Laode. Lebih baik kau menikahi Fat, Rahma, Latifah atau Suratih." Mak menyebutkan sederet nama perempuan. Mereka sebagian pejuang. Sebagian perawat di Palang Merah Indonesia.
"Tapi aku tak mencintai mereka, Mak!"
"Cinta?" Mak mulai merajut. Ujung jarinya tertusuk jarum jahit. Dia mengaduh. Mengecup-ngecup ujung jari itu, lalu menatapku sangar. "Cinta itu datang belakangan. Lagipula untuk apa semuanya diawali cinta, kalau akhirnya berujung benci. Tentu lebih baik semuanya diawali benci, tapi berujung manis; cinta. Sudahlah! Kau jangan terlalu cengeng!"
* * *