Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Koleksi Bapak

11 Februari 2019   11:31 Diperbarui: 11 Februari 2019   11:39 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

"Bapak suka mengoleksi yang aneh-aneh. Apakah Ibu tak pernah protes?" tanyaku saat hanya aku dan Ibu yang ada di rumah.

"Selama dia tak mengoleksi perempuan, Ibu tak mau ambil pusing."

* * *

Belum genap empat puluh hari Bapak meninggal, tiba-tiba Ibu membuat kami, anak-anaknya, tercekat bukan kepalang. Masih sedih rasanya sepeninggal lelaki itu. Tak lekang pula di benak kebiasaannya mengoleksi benda-benda aneh. Seringkali sesuatu atau tingkah-laku yang kita benci pada diri orang dekat kita, menimbulkan kangen tak terkira ketika dia sudah hilang dari permukaan bumi. Begitu pula yang kurasakan, juga abang-abangku. Dan semuanya tercerabik oleh perbuatan Ibu.

Di meja makan kami berkumpul. Seperti ada yang kurang. Lima buah bangku yang selalu terisi setiap kali ada pertemuan keluarga, kini tersisa satu buah bangku kosong. Bangku milik Bapak. Aku menoleh ke arah Bang Herman. Bang Herman membuang wajah, dan menatap Bang Liban, lalu beralih memerhatikan mata Ibu yang berkaca-kaca.

"Bu." Pelan sekali Bang Herman berbicara. "Tanah kuburan Bapak masih basah. Kami, anak-anak Ibu, pun belum memikirkannya. Dan sampai kapan pun kami tak mau memikirkannya. Kenapa Ibu sampai mengumpulkan kami bertiga hanya untuk membicarakan pembagian harta warisan?"

Meskipun tinggal aku dan Ibu yang menetap di rumah ini, ternyata Bang Herman lebih dulu tahu tujuan Ibu mengumpulkan kami. Kutatap wajah perempuan itu. Tiba-tiba muncul rasa kurang simpatiku kepadanya.

Pelan-pelan, meskipun dengan suara berat, akhirnya Ibu mulai berbicara. Bahwa tujuannya memanggil kami semua, bukanlah untuk membagi harta warisan yang kami anggap berharga. Malahan, dia mengatakan, harta itu pada awalnya kami benci dan menjadi gunjingan yang nikmat selama beberapa hari atau minggu.

Tibalah Ibu pada topik pertama. "Ibu akan menyerahkan warisan Bapak, sebab tubuh yang renta ini tak mungkin lagi mengelolanya, yaitu cacing gelang!" Kami semua tersentak. Saling tatap, seolah tak ingin mendapat warisan menjijikkan itu. "Dan meskipun kau ingin menolak, Ibu telah berniat memberikan warisan seluruh cacing gelang itu untuk kau pelihara, Liban!"

Wajah Bang Liban bersemu merah. Tapi karena pendiam dan tak mau membantah, dia hanya menggerakkan kepalanya, antara mengangguk dan menggeleng.

"Warisan kedua yang kalian pasti sudah tahu, adalah kodok di kolam belakang itu. Semuanya harus kau urus, Herman." Ibu sedikit keras berkata kepada Bang Herman. Di antara anak-anak Ibu, dialah yang paling sering protes.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun