Saran Roji, lebih baik Salmiah berjualan makanan saja. Salmiah kan jago bumbu! Bahkan dia sangat ahli memasak. Para pembeli yang tidak bisa memasak, bisa menjadi koki hebat. Mereka mendapat pujian dari suami atau orang tua mereka. Padahal yang harus mendapat pujian itu Salmiah.
"Maksud Mas Roji?" Salmiah melayani seorang pembeli. Pembicaraan mereka berhenti sejenak.Â
"Maksudku kenapa bukan kau sendiri yang memasak. Kau berjualan makanan saja. Untungnya lebih banyak dari bumbu racik. Kau bisa memperbaiki tempat berjualan ini. Bahkan kau bisa menyewa atau malahan membeli toko seperti milikku. Apa kau tetap ingin seperti ini?"
Salmiah hanya tersenyum. Perbincangan mereka terhenti karena tiba-tiba hujan turun deras. Tapi, saran Roji terngiang-ngiang terus di telinga perempuan itu.
Ah, mungkin saja Roji hanya iri karena merasa tersaingi. Bila Salmiah beralih menjadi penjual makanan, otomatis saingan Roji akan berkurang. Ya, ya. Mungkin saja lelaki itu hanya tersaingi.
Berminggu-minggu setelah perbincangan itu, Salmiah masih bimbang. Seandainya niat Roji tulus ikhlas, bisa jadi hidup Salmiah bisa menjadi lebih baik. Dia tidak lagi berjualan di tempat becek, yang selalu harus janbar alias kalau hujan harus bubar.
Dua bulan setelah dirundung kebimbangan, tiba-tiba Salmiah menuruti saran Roji. Tempat jualannya diubah menjadi lebih luas. Agar tidak selalu becek, dia mendapat pinjaman uang dari Roji untuk menyemen lantai tempat jualan itu.
Karyawan yang membantu Salmiah ditambah dua orang. Mengerjakan bumbu racik tentu beda dengan berjualan makanan. Apalagi yang akan djual Salmiah adalah makanan siap saji alias makan siang berupa nasi dan lauk-pauknya.
Sehari-dua setelah Salmiah berjualan makanan, yang ada hanya wajah-wajah kecewa para pembeli. Mereka yang berharap memperoleh bumbu racik sekaligus beberapa wejangan dari Salmiah, musnah sudah. Terpaksalah mereka ke warung Roji. Sedangkan makanan Salmiah tidak ada yang menyentuh.
Salmiah mulai sadar, dia telah termakan omongan Roji. Rambut saja yang sama hitam, tapi hati orang siapa yang tahu. Hanya saja pada hari ketiga berjualan makanan, ada seorang lelaki yang singgah di warung Salmiah. Kemudian seorang lagi. Seorang lagi, hingga ramai.
Para suami atau orang tua di sekitar warung Salmiah, tidak lagi makan siang di rumahnya. Mereka memilih lezatnya makanan yang dijual Salmiah. Sementara makanan yang dimasak istri atau anak gadis mereka tidak lagi disentuh.