Kami kemudian berbincang lama. Sesekali hatiku luluh ketika mendengar ocehan Sonia tentang makanan itu; sedap, enak, kapan dapat yang beginian lagi? Kasihan Sonia. Sebelumnya dia terbiasa hidup serba kecukupan, sekarang untuk makanan seperti itu, dia merasa sangat hebat. Mungkin dia berharap setiap hari bisa bersantap yang enak-enak. Heh, beda benar dengan dua anakku. Paling banter setiap Sabtu malam hanya bisa kuajak makan bakso, sate atau mie ayam di taman kota. Atau di Minggu siang makan ayam goreng Paman Sam di mall.
Sebelum pulang aku memberikan sedikit uang kepada Om Arnal untuk berobat istrinya yang sakit-sakitan. Ah, lega rasanya. Aku bisa melenggang kangkung dengan hati lapang. Sebelum menyetop bis menuju rumahku, aku berbelok sebentar ke toko alat-alat kantor. Tadi pagi anakku memesan mistar baru karena yang lama sudah patah.
"Bam!" Suara berat menyetop langkahku. Aku terperangah seolah melihat beruang yang siap mencakarku sampai mampus. Mungkin wajahku seketika berubah seputih kapas. "Kau ke rumah Om Arnal, ya?"
"Aku...."
"Mana kantong plastik yang satunya?"
"Maaf...."
"Kau memang susah dikasih tahu. Sudah! Besok-besok aku tak akan meneraktirmu lagi!"
"Di!" Aku mengejarnya. Tapi tubuhnya telah lenyap di dalam mobil yang kemudian dipacu cepat.
* * *
Aldi akhirnya tak pernah lagi meneraktirku apa saja, termasuk makan. Dia seakan menganggapku musuh. Pernah tiga kali aku menelepon, tapi dia langsung mematikan ponselnya. Mungkin karena kesal, suatu hari dia mengirimkanku sms, kira-kira demikian; pokoknya gak ada cerita traktiran2. Aku ada teman yang lebih mendukung seleraku.
Aku merasa bersalah. Sewaktu ada pesta pernikahan seorang sepupu, aku berharap bisa bertemu dia. Sayang, aku terpaksa menelan kekecewaan. Aldi ternyata telah pindah ke kota Jakarta. Dia memperoleh jabatan baru yang lebih basah dan mantap.