Lonceng tanda waktu istirahat berbunyi. Anak-anak SDN 121 berlarian ke luar kelas. Sebagian kecil dari mereka menuju toilet, dan sebagian besar berlari menuju penjaja makanan di luar pagar sekolah.
Ayu dan Iin berjalan santai menuju kantin sekolah. Mak Asih, pemilik kantin, terlihat terkantuk-kantuk. Sesekali dia mengipaskan kertas koran ke lehernya. Hari ini cuaca panas. Selain membuat gerah, rasa kantuk pun sering mengganggu.
"Masih ada lontong, Mak?" tanya Ayu. Mak Asih mengangguk. Dia langsung berdiri sambil menyiapkan dua mangkok lontong. Dia sudah hapal kesukaan anak kembar di depannya. Ayo suka lontong yang pedas, sedangkan Iin tak suka pedas.
"Sepi sekali di sini? Belum ada yang beli, Mak?" Ayu melihat ke sekelilingnya.
"Beberapa hari ini memang sepi, kecuali pagi hari. Anak-anak suka jajan di luar." Mak Asih menatap jauh ke gerbang sekolah.
"Iya, ya! Padahal jajanan di luar sana itu tak bersih, banyak lalat. Hiii? Belum lagi minumannya warna-warni. Bu guru sudah mengingatkan agar kami semua makan di kantin. Tapi masih saja mereka jajan di luar sana," sambung Iin.
Cerita tentang Mak Asih dan jajanan di luar pagar sekolah, masih diperbincangkan Ayu dan Iin hingga tiba di rumah. Ibu yang kebetulan sedang memasak, ikut nimbrung.
"Mak Asih jualan apa saja?" tanya ibu.
"Ubi, pisang, tahu goreng, dan beberapa jajajan lain. Tapi teman-teman sekolah lebih suka cimol, tela-tela, cilok, es sirop. Padahal  itu bisa buat batuk. Bisa buat sakit perut. Kasihan kan kalau mereka sakit!""
"Ibu ada ide!" Ibu tersenyum.
Setelah makan siang, mereka sibuk menyiapkan sesuatu di dapur. Satu setengah jam kemudian, apa yang mereka siapkan hampir selesai. Ayu dan Iin kecapekan. Mereka ingin tidur siang. Ibu melanjutkan pekerjaan. Setelah shalat ashar, Ibu, Ayu dan Iin duduk di teras rumah. Mereka berbincang-bincang sambil tertawa kesenangan. Ayah yang baru pulang dari kantor, kebingungan melihat mereka. Apalagi Iin mendecap-decap sambil menggaruk-garuk kepala. Ibu dan Ayu menertawainya.