"Mungkin ini hanya teguran saja, Bu!" jawabnya. Dia menarik napas dalam-dalam. "Percuma saja dia kuberi obat paten. Sebab bukan jasmaninya yang diserang penyakit. Melainkan rohaninya." Si dokter bertambah membuatku bingung.
Dia hanya tersenyum. Dia masuk ke dalam bilik kecil, lalu keluar lagi sambil berkata, "Bapak mungkin pernah mengecewakan seseorang yang sangat butuh pertolongan. Padahal Bapak sangat berdaya membantunya. Tapi karena sifat medit, akhirnya permintaan orang tersebut ditolak mentah-mentah. Tentu hatinya sangat hancur. Dia sangat kecewa, sehingga kekecewaannya itu berbalas kepada Bapak. Intinya, Bapak sakit."
Selintas bayang-bayang Hardi mengejarku. Apakah dia mendoakan supaya aku celaka karena tak meminjami duit? Brengsek benar dia.
"Maaf Bapak. Orang yang dikecewakan itu, tak perlu mendoakan agar Bapak sakit. Tapi Tuhan-lah yang turun-tangan menyelesaikannya." Dokter Thamrin dapat membaca pikiranku.
Istriku buru-buru berkata, "Benar, Dok. Tadi malam, teman Mas Rahman memang ada menelepon. Dia mau meninjam uang lima juta. Tapi suami saya ini tak memberi. Mungkinkah itu penyebabnya?"
"Anda benar! Jadi, sebelum uang lima juta diberikan, Bapak akan sakit dan semakin sakit. Sekarang, pulanglah dulu. Berikanlah uang sejumlah permintaan teman Bapak itu."
Kekesalanku mengubun. Meskipun si dokter tak mau dibayar atas konsultasinya tadi, tapi menurutku dia orang yang brengsek. Enak saja dia mengatur-atur orang supaya meminjamkan uang kepada yang butuh itu. Memang dia siapa? Apa dia yang menggajiku? Apa uang-uangku berasal darinya? Tidak bisa! Lebih baik sakit begini.
Mendadak sesampai di rumah, kakiku berdenyut bukan kepalang. Aku seketika tak bisa berjalan. Tubuhku terjerembab, dan napasku satu-satu. Perlahan-lahan jempolku terasa dingin dan kaku. Kemudian menjalar ke betis, ke lutut, ke paha, selangkangan, perut, dada, oh... Tuhan. Apakah nyawaku akan dicabut?
Cepat-cepat istriku mengambil uang lima juta di lemari. Cepat-cepat ditanyanya kepadaku alamat si Hardi. Namun sebelum semua terlaksana, pandanganku gelap. Lalu aku sekonyong terbangun dari tidur dengan tubuh bersimbah keringat. Istriku yang baru selesai mandi, sampai memucat melihatku.
"Kenapa, Mas?"
"Aku, aku mimpi buruk. Aku terkena penyakit aneh, sebab tak meminjami uang kepada si Hardi." Kesetanan kucari nomor telepon si Hardi di telepon selularku. Sayang, ternyata tak bisa ditemukan lagi. Aku telah menghapusnya.