"Ogah!"
"Hanya lima ribu satu. Tiga sepuluh ribu." Dia masih merayu.
"Ogah!"
"Tiga ribu!"Â
Aku tetap menolak dan hampir beranjak pergi. Sebelum akhirnya aku menerima cermin itu dengan tanpa harga alias gratis. Dan kupikir dia gila. Tapi dia merasa tak gila sambil mengatakan kalau aku adalah pembuka rejekinya. Mudah-mudahan setelah aku, akan ada pembeli yang membayar dengan harga.
Aku tertawa. Kunaiki sepeda motor sambil sebentar meliri ke kaca spion. Aku terbelalak. Sekerumunan orang mengelilingi penjual cermin itu.
* * *
Aku paling malas bercermin. Tapi setelah meletakkan cermin berbentuk hati itu sembarangan di atas kasur, kemudian memilih menggantungkannya di dekat jendela, tiba-tiba ada kekuatan yang menyeretku sekadar melihat wajahku di cermin itu.
Tak ada yang menarik, sebelum akhirnya aku melihat beberapa uban menghiasi kepalaku. Aku baru sadar usiaku hampir empat puluh tahun. Usia yang sangat uzur untuk seseorang yang belum berkeluarga. Usia yang tersamar dan membuatku lupa karena setiap hari para perempuan yang mengelilingiku mengatakan aku adalah lelaki tampan dan muda. Dan aku memberi mereka berlembar uang untuk tips puji-pujian itu.Â
Turun ke dahi, seperti lipatan jaman tergambar di situ. Aku tersadar ajal pasti telah sangat dekat di ruang tunggu. Betapa lama aku bergelimang dunia, tanpa sedikit pun memberikan lipatan itu cahaya. Menundukkan sedalam tunduk saat di atas sajadah menghadap-Nya.Â
Turun ke mata yang mulai rabun. Turun ke mulut dengan gigi-gigi menghitam dan sebagian rompal, sebagian ompong. Kutarik napas dalam-dalam. Terngiang teguran mendiang Ayah tentang istri dan momongan. Terngiang tanya Ibu yang kini megap-megap di kasur, perkara shalat dan puasa. Dan betapa banyak kuumbar kebohongan kepada mereka dari mulut bau kakus. Betapa banyak aku mencaci-maki orang. Menghina. Betapa sering demi memuluskan lembaran uang masuk ke kantong, aku bersumpah atas nama dusta.