Pertama-tama tak seberapa orang berjualan di pinggir pasar itu, di bawah pohon beringin yang meranggas. Dan semua juga tahu, sampai kapan pun tak akan bertambah banyak orang berjualan di situ. Siapa yang tahan duduk berlama-lama dengan penjual ayam dengan keranjang-keranjang bau tahi.Â
Siapa yang tahan duduk berlama-lama dengan penjual kambing dengan kambing-kambing terikat dan bau tahi. Siapa yang tahan dengan tauke getah dengan bongkahan getah yang bau menusuk hidung, yang keringat tauke bau getah, yang kentutnya bau getah, juga buntalan uang di uncang pinggangnya.
Hingga menjadi aneh ketika suatu hari seorang lelaki yang memanggul karung goni singgah di situ. Matanya jelalatan mencari tanah yang lapang. Mungkin sekadar berteduh, kendati berharap teduh kepada pohon beringin yang meranggas adalah kemustahilan. Tapi kemudian dia memilih, memantapkan duduk di dekat penjual ayam. Maka orang-orang di sebelahnya, orang-orang yang lalu-lalang di jalan setapak, menoleh heran.
Lelaki itu mengeluarkan bermacam cermin dari goni yang dia panggul tadi. Artinya, dia adalah penjual cermin. Akan menjadi aneh bila dia berjualan di tempat bau begitu. Bukankah cermin ditempatkan di tempat yang agung? Cermin gunanya untuk memantaskan lipstik yang melekat di bibir. Memantaskan sisiran rambut hingga rapi dan mengilap.Â
Memantaskan pakaian. Memantaskan parfum. Mustahil untuk berpantas di dekat ayam, kambing dan bungkahan getah. Begitupun, lelaki itu seperti memutuskan berjualan di situ. Kendati mungkin dia yakin orang akan aneh melihat seorang penjual cermin, menjual cermin bukan pada tempatnya.
"Cermin, cermin. Cermin murah sepuluh ribu tiga. Cermin impor, cermin tanpa tandingan." Begitulah lagunya memanggil pembeli. Sampai mulutnya berbuih. Sampai orang hanya menelengkan kepala sambil tersenyum dan berlalu dari hadapannya.
Saat itulah, dengan menutup hidung, aku tergoda mendekatinya.
"Tak ada jualan yang lebih bagus dari cermin? Cermin Bapak tak akan laku. Sekarang orang bisa bercermin di mana saja. Di kaca spion mobil. Di jendela rumah, bahkan di kepala botak licin yang mengilat diterpa matahari."
Dia tertawa. Tanpa menjawab, dia malahan mengangsurkan cermin berbentuk hati kepadaku. "Nah, untuk orang sepertimu, ini cocok!"
"Aku tak perlu cermin. Tanpa cermin, aku sudah kelihatan gagah," jawabku sambil mendengus. Hidung kututup lebih rapat. Hingga ketika berbicara akan terdengar sengau.
"Tak usah menutup hidunglah. Semua yang ada di sini tetap kau butuhkan. Kau makan ayam, jadi jangan benci bau tahinya. Kau makan kambing, jadi jangan benci bau badan dan tahinya. Kau mengendarai motor, mobil, memakai ban karet, jadi jangan benci mentahnya. Supaya kau menjadi lelaki pencinta, belihlah cermin ini." Penjual itu begitu ngotot menyorongkan cermin berbentuk hati itu ke ujung hidungku.