Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tangan

5 Februari 2019   11:33 Diperbarui: 5 Februari 2019   12:12 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

"Masjid!" 

"Sejak kapan kau alim?" Aku membuang gelak tawa mereka ke tong sampah.

Ada-ada saja! Orang-orang memang paling senang mengejek mereka yang ingin berubah ke arah lebih baik. Coba saja kalau ada yang ingin berubah ke arah lebih buruk, pasti banyak yang memuji. Aku ingat Manggali yang senang mendekam di masjid, selalu diejek banci oleh pemuda-pemuda kampung kami. Namun, suatu kali Manggali frustrasi karena putus cinta dengan anak Haji Kasimun. Dia mencoba menuntaskan kegundahan dengan sobotol songkhi. Alhasil, banyak pemuda yang memujinya, "Hebat! Hebat!" Dan aku tak ingin terjebak menjadi Manggali baru.

Aku memang bukan orang baik-baik saat berduit. Keluar malam sering. Menggoda perempuan sangat suka meskipun aku sudah beristri. Bahkan, suatu kali aku memperturutkan ajakan Radian berkunjung ke panti pijat. Hasilnya bukan segar yang didapat, tapi lezat sesaat, stres kemudian berkepanjangan. Apa sebab? Aku harus keluar duit banyak demi membayar pekerja pijat yang cantik dan bahenol.

Aku duduk di tiang masjid usai shalat Ashar. Seorang lelaki tua berjenggot panjang mendekatiku sambil menggeser pantatnya. Dia menyandarkan tubuhnya yang ringkih di sebelahku.

"Baru ya di sini?" Dia seolah tak bertanya kepadaku. Matanya menatap jauh ke depan.

"Ya, baru ikut shalat berjamaah. Tapi, aku tetap shalat di rumah kok. Jumatan juga rutin." Aku sedikit berbohong. Meski shalat di rumah, aku selalu tak tetap waktu dan sering bolong-bolong. Begitupun, aku tak ingin aib ini diketahui lelaki berjenggot panjang itu.

"Kau kelihatan susah hati. Mengapa?" 

"Tidak ada masalah apa-apa!" jawabku. Aku ingin beranjak dari dekat lelaki itu. Namun, pantatku seperti dilem di lantai masjid yang dingin.

"Ayolah, aku bisa membaca dari riak wajahmu."

Akhirnya, kuceritakan tentang tanganku yang beberapa hari belakangan ini sering susah diangkat. Aku bingung apa penyebabnya. Ini bukan penyakit, seperti diagnosis Mantri Amak. Apalagi, kata orang-orang aku rematik. Itu hanya mengada-ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun