Sudah beberapa hari ini tanganku sering sulit diangkat. Apalagi untuk diayun ayunkan. Aku sudah mendatangi Mantri Amak. Tapi, jawaban darinya tak ada yang salah di tubuhku. Dia hanya memberikan aku obat tidur. Menurut mantri, aku hanya kelelahan.
Tapi, sampai sekarang, tetap saja tanganku kaku bagaikan digips. Padahal, tangan ini adalah andalan mencari penghidupan setelah aku berhenti dari perusahaan kontraktor tempatku bekerja selama tujuh tahun. Perusahan kontraktor itu bangkrut. Ya, mau diapakan lagi. Aku banting setir menjadi penulis kolom di beberapa surat kabar.Â
Alhamdulillah, hasilnya dapat membantu keuangan rumah tangga. Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin usaha membuat kue-kue kering milik istriku bisa memenuhi tuntutan hidup kami yang terus membengkak?
Apalagi, sekarang istriku tengah hamil besar. Ada-ada saja yang dia ngidamkan setiap hari.Tak sulit-sulit memang. Semua ada di sekitar kami. Sayangnya, bagaimana mewujudkan ngidamnya kalau uang di kantong hanya lembaran seribu? Dia ingin televisi berwarna 21 inci agar puas menonton melodrama yang membuatnya lebih sering menumpahkan air mata. Dia ingin kulkas dua pintu seperti milik Haji Kasimun pedagang batagor itu, atau sepeda motor matic.
Ah, ah! Banyak sekali sehingga membuat perutku mules. Pasal itulah, daripada menuruti ngidam-ngidamnya, aku lebih memilih kakus sebagai pelarian. Di situ, aku berkepul dengan sebatang rokok. Tapi, tak untuk waktu-waktu sekarang ini. Bagaimana mungkin berkepul rokok di kakus, sedangkan tanganku sering sulit diangkat? Kubiarkanlah istriku merepet dengan ngidam-ngidamnya. Kubiarkan ibu mertua berceloteh tentang rezeki kami yang seret. Sementara air mataku selalu mengambang melihat mesin tik di meja. Kapan nian aku bisa mengencaninya lebih mantap seperti yang sudah-sudah?
"Mungkin rematik menyerangmu!" kata Liban sambil memirit kartu di pos ronda. Aku hanya menonton karena tanganku tak seide lagi dengan otak. Padahal, aku paling senang memirit kartu meskipun bukan tujuan berjudi.Â
"Tapi, rematik biasanya menyerang sendi-sendi. Lagian tanganku tak sakit. Tak ngilu seperti yang sering dikeluhkan Wak Sobar yang rematikan itu. Hanya saja, sekali waktu tanganku sama sekali susah diangkat, kumat-kumatan. Bila ingin mempergunakannya, selalu tangan ini seolah merajuk."
"Bagaimana kalau sedang kelonan dengan istri?" kejar Maulana. Dia meluruskan pinggang sambil membaui harum iwak pedo goreng dari warung Mak Jainab.
"Anehnya, tanganku sigap!"Â
"Itu penyakit yang dicari-cari. Bilang saja kau malas bekerja!" sambut Liban. Rapat kartu itu menjadi riuh oleh tawa yang lebar. Kunaikkan sarung sampai sebatas dada. Aku meninggalkan mereka yang sudah membuat hati ini jengkel.
"Ke mana, Mirza?"Â