Namaku Borok. Nama jelek seperti nama penyakit yang membuat orang jijik. Aku pernah memerotes ayah dan ibu, kenapa namaku seperti itu. Kenapa bukan Sandi misalnya, atau Salauddin seperti nama anak Haji Katim, atau Sartono seperti nama tukang pijat buta yang sering keliling kampung. Jawaban dari ayah dan ibu hanya keluh kesah. Mereka terpaksa memberiku nama itu.
 Ayah juga tak mengerti kenapa dia bernama Bisul. Sama seperti ibu, tak faham mengapa namanya Kurapwati. Mungkin dari nenek moyang kami telah mentradisi bernama yang aneh-aneh. Ya, bisa jadi biar mudah diingat orang.
Meskipun sering diejek orang gara-gara bernama Borok, tapi aku menjawab dengan senyuman. Untuk apa marah, memang itu namaku. Lebih baik memiliki nama buruk, ketimbang nama bagus tapi mendapat gelar jelek. Borok, apalagi gelar-gelaran yang lebih jelek dari itu?Â
Siti, tetangga sebelah rumah, menjadi tak bagus namanya karena kakinya bengkok. Jadilah dia dipanggil Siti Pengkor. Budi, karena suka menggaruk-garuk badan, dipanggil Budi Gatal.Â
Sujak, bandit pasar, bergelar Sujak pelor karena pernah ditembak polisi karena maling jemuran. Ada lagi Udin Peang, Asep Pitak, Mamat Pelit, Barmawi Busung, dan masih banyak pula yang lebih jelek. Tapi tak baiklah diumbar semua nama mereka di sini. Nanti mereka malu. Lagi pula ini bisa menjadi ghibah.
Namun saat telapak kaki Salauddin tertusuk paku, aku menjadi tumbal kemarahan Haji Katim. Luka di telapak kaki Salauddin tak sembuh-sembuh. Padahal sudah diobati betadin, kemudian dibawa ke Mantri Amak. Sayang sekali, luka itu berubah borok. Â
"Kenapa pula namamu Borok! Cari nama kok aneh-aneh!" geram Haji Katim. Wajahnya memerah seperti udang panggang.
"Lho, aku berhak memberi nama anakku apa saja. Mau Borok, mau kudis, apa urusan Pak Haji! Aku yang membuatnya berdua Kurap. Kurap yang melahirkannya menyabung nyawa. Kami yang membesarkannya," balas ayah membelaku. Aku langsung bersembunyi di belakang punggung ayah.
"Ya, toh aneh juga aku. Masa' telapak kaki Salauddin hanya tertusuk paku bisa menjadi borok! Sekarang kakinya harus diamputasi. Bukan perkara biaya yang kupikirkan. Uangku ada!" Dia memanjangkan leher menunjukkan keangkuhan. "Aku hanya tak ingin dia cacat."
"Jadi apa yang bisa kubantu?" keluh ayah.
"Ganti nama anakmu! Titik!"
"Tak!"
Akhirnya kaki Salauddin diamputasi. Keluarga Haji Katim dan keluargaku pun bermusuhan. Tapi  keluarga saja yang bermusuhan. Bukan aku dan Salauddin. Kami tetap bermain kelereng seperti biasanya.
Setahun kemudian Sujak Pelor mengidap penyakit kurap. Pertama hanya satu dan kecil di bagian lengan kanan. Jadi dia tak risau. Beberapa hari berselang, kurap bertambah jadi, menyerang perut, wajah, kaki dan di ujung hidungnya. Dia meradang. Dia berobat ke rumah sakit. Ternyata jangankan sembuh, kurapnya semakin merajalela.
Barangkali dia teringat kejadian yang menimpa Salauddin. Maka, bergegaslah dia menerjang pintu rumahku. Ibu yang sedang mengajariku belajar, langsung ketakutan. Dia memeluk erat kepalaku.
"Kau penyebab semua ini!" hardik Sujak
"Penyebab apa?"
"Namamu Kurapwati! Kau yang menularkan kurap ke tubuhku. Aku sudah berobat ke rumah sakit, tapi tak sembuh-sembuh!"
"Lho, mana ada nama bisa menularkan kurap?" Ayah baru tiba dari pasar. Mendengar ada ribut-ribut, dia langsung ikut campur. Dia tak ingin keluarganya menjadi bulan-bulanan Sujak Pelor.
"Awalnya musahil bagiku nama bisa menularkan atau bahkan menyebabkan penyakit. Aku malahan merasa konyol ketika mendengar Salauddin mengidap borok gara-gara nama anakmu. Tapi sekarang aku merasakan sendiri. Mulai hari ini ganti saja nama istrimu!"
Ayah menatapnya tajam. "Tak bisa!"
"Kau melawan?"
"Tak!"
"Kalau begitu ganti nama istrimu."
Hati ayah risau. Setelah Sujak Pelor pergi, dia mengatakan ingin mengganti namaku, Â nama ibu dan namanya sendiri menjadi nama lain yang tak membuat orang marah. Bagaimana pun orang pasti gelap mata bila terjangkit penyakit yang tak bisa sembuh, dan kami dijadikan tumbal. Bisa-bisa rumah kami dibakar massa seperti yang terjadi pada mendiang Kusnen, si dukun beranak, tapi dituduh dukun santet. Atau paling tidak kami diusir dari kampung ini. Lalu, bagaimana nasib rumah dan tanah kami? Bagaimana nasib kebun karet?
Setelah bincang-bincang yang alot antara ayah dan ibu, maka diputuskanlah mengganti nama-nama kami. Penggantian nama diumumkan di kantor kepala desa agar masyarakat tak perlu cemas terjangkiti penyakit, sekaligus tak menuduh kami sebagai biangnya.
Sembari tersenyum-senyum, sehingga kumis tebalnya bergerak-gerak, bapak kepala desa kemudian bepidato, "Baiklah, sekarang dengan resmi kita ganti nama Bisul menjadi Iis Purok." Massa bertepuk tangan. "Nama Kurapwati menjadi Iis Ulok." Massa berteriak. "Nama Borok menjadi M. Sitopen." Massa tersenyum karena senang.
Ajaib! Setelah itu tak ada orang sakit borok, kurap, yang tak sembuh-sembuh. Hanya saja berbulan kemudian, ayah heran melihat penjungkirbalikan pola hidup masyakarat. Saud yang biasa menderes karet, tiba-tiba menjadi kepala desa. Jalan yang baru sebulan dicor, sudah rusak. Belum lagi kejanggalan-kejanggalan lain, seperti hilangnya kas desa tanpa penyelesaian, misal malingnya ditangkap. Sementara hari ini kami sekeluarga tiba-tiba diajak Saud bertemu bapak camat.
Sebenarnya ayah senang bukan kepalang. Tapi tetap saja dia terheran-heran. Pasal apa kami sekeluarga berhak bertemu bapak camat? Sambil mematut-matut seragam baru di depan cermin,  mata ayah terbelalak melihat  sebaris nama yang terpampang manis di bagian dada kirinya. Itu nama baru ayah.
Dia sadar, mungkin itulah yang membuat pola hidup masyarakat jungkir balik.
"Bu, aku kecewa setelah kita berganti nama. Aku rindu dengan nama buruk kita dulu. Meskipun tak masuk akal, nama buruk kita itu hanya membuat tubuh orang di kampung ini sakit. Tapi dengan nama baru ini, yang sakit malahan mental mereka."
Ibu bengong.
"Mari kita bertiga bercermin!" ajak ayah.
Kami bercermin. Kami membaca nama baru yang tertempel indah di bagian dada kiri kami. Tiga anak-beranak ini murung. Kami sedih.
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H