"Tak!"
Akhirnya kaki Salauddin diamputasi. Keluarga Haji Katim dan keluargaku pun bermusuhan. Tapi  keluarga saja yang bermusuhan. Bukan aku dan Salauddin. Kami tetap bermain kelereng seperti biasanya.
Setahun kemudian Sujak Pelor mengidap penyakit kurap. Pertama hanya satu dan kecil di bagian lengan kanan. Jadi dia tak risau. Beberapa hari berselang, kurap bertambah jadi, menyerang perut, wajah, kaki dan di ujung hidungnya. Dia meradang. Dia berobat ke rumah sakit. Ternyata jangankan sembuh, kurapnya semakin merajalela.
Barangkali dia teringat kejadian yang menimpa Salauddin. Maka, bergegaslah dia menerjang pintu rumahku. Ibu yang sedang mengajariku belajar, langsung ketakutan. Dia memeluk erat kepalaku.
"Kau penyebab semua ini!" hardik Sujak
"Penyebab apa?"
"Namamu Kurapwati! Kau yang menularkan kurap ke tubuhku. Aku sudah berobat ke rumah sakit, tapi tak sembuh-sembuh!"
"Lho, mana ada nama bisa menularkan kurap?" Ayah baru tiba dari pasar. Mendengar ada ribut-ribut, dia langsung ikut campur. Dia tak ingin keluarganya menjadi bulan-bulanan Sujak Pelor.
"Awalnya musahil bagiku nama bisa menularkan atau bahkan menyebabkan penyakit. Aku malahan merasa konyol ketika mendengar Salauddin mengidap borok gara-gara nama anakmu. Tapi sekarang aku merasakan sendiri. Mulai hari ini ganti saja nama istrimu!"
Ayah menatapnya tajam. "Tak bisa!"
"Kau melawan?"