"Tak!"
"Kalau begitu ganti nama istrimu."
Hati ayah risau. Setelah Sujak Pelor pergi, dia mengatakan ingin mengganti namaku, Â nama ibu dan namanya sendiri menjadi nama lain yang tak membuat orang marah. Bagaimana pun orang pasti gelap mata bila terjangkit penyakit yang tak bisa sembuh, dan kami dijadikan tumbal. Bisa-bisa rumah kami dibakar massa seperti yang terjadi pada mendiang Kusnen, si dukun beranak, tapi dituduh dukun santet. Atau paling tidak kami diusir dari kampung ini. Lalu, bagaimana nasib rumah dan tanah kami? Bagaimana nasib kebun karet?
Setelah bincang-bincang yang alot antara ayah dan ibu, maka diputuskanlah mengganti nama-nama kami. Penggantian nama diumumkan di kantor kepala desa agar masyarakat tak perlu cemas terjangkiti penyakit, sekaligus tak menuduh kami sebagai biangnya.
Sembari tersenyum-senyum, sehingga kumis tebalnya bergerak-gerak, bapak kepala desa kemudian bepidato, "Baiklah, sekarang dengan resmi kita ganti nama Bisul menjadi Iis Purok." Massa bertepuk tangan. "Nama Kurapwati menjadi Iis Ulok." Massa berteriak. "Nama Borok menjadi M. Sitopen." Massa tersenyum karena senang.
Ajaib! Setelah itu tak ada orang sakit borok, kurap, yang tak sembuh-sembuh. Hanya saja berbulan kemudian, ayah heran melihat penjungkirbalikan pola hidup masyakarat. Saud yang biasa menderes karet, tiba-tiba menjadi kepala desa. Jalan yang baru sebulan dicor, sudah rusak. Belum lagi kejanggalan-kejanggalan lain, seperti hilangnya kas desa tanpa penyelesaian, misal malingnya ditangkap. Sementara hari ini kami sekeluarga tiba-tiba diajak Saud bertemu bapak camat.
Sebenarnya ayah senang bukan kepalang. Tapi tetap saja dia terheran-heran. Pasal apa kami sekeluarga berhak bertemu bapak camat? Sambil mematut-matut seragam baru di depan cermin,  mata ayah terbelalak melihat  sebaris nama yang terpampang manis di bagian dada kirinya. Itu nama baru ayah.
Dia sadar, mungkin itulah yang membuat pola hidup masyarakat jungkir balik.
"Bu, aku kecewa setelah kita berganti nama. Aku rindu dengan nama buruk kita dulu. Meskipun tak masuk akal, nama buruk kita itu hanya membuat tubuh orang di kampung ini sakit. Tapi dengan nama baru ini, yang sakit malahan mental mereka."
Ibu bengong.
"Mari kita bertiga bercermin!" ajak ayah.