Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Fay dan Ceritanya

2 Februari 2019   11:12 Diperbarui: 2 Februari 2019   13:36 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : pxhere.com

Waktu semakin cepat berlalu, melintas, menghantam dan pecah di belakang. Berkeping-keping. Tapi aku tetap berdiri di sini. Melumut dan hampir mati dalam jenuh yang menumor hati. Sementara angin panas setia menampar-nampar kemejaku. 

Penjaja koran sekali-dua meneriakkan lembaran jualannya. Dan aku tak menjawab. Seolah diri ini adalah orang asing di tengah keramaian yang menggila. Di tengah lalu-lalang kenderaan. Di tengah pekik klakson. Sementara asap knalpot menambahi racun dari rokok yang kusulut.

Ach, seharusnya aku tak menunggunya. Pilihan terbaik mungkin secangkir kopi di Caf Latina. Atau pulang ke rumah sambil menonton televisi. Menikmati mie kuah hangat seraya merendam kaki di gumpalan es yang beranjak cair. Hmm, hari ini memang benar-benar panas. Keringat membuat pakaianku basah-lengket.

Bip! Bip! Bip! Ponselku berbunyi. Sebaris nomor tak dikenal terpampang di layarnya. Kuangkat dengan malas. "Ya, siapa?"

"Fay, Mas! Sorry, pesawat yang kutumpangi rusak tuh. Baterai hp-ku nge-drop. Ini aku telepon dari wartel. Tunggu saja sekitar, ah...berapa, dua atau tiga jam lagi. Sabar ya.."

Klik! Telepon terputus.

Sial! Dia menganggapku apa? Dia menyuruhku menunggu dua atau tiga jam lagi?

Memang, dulu kami sangat dekat. Amat dekat malah. Namanya Maryani, namun aku senang memanggilnya dengan Fay saja. Kalau kau bertemu pertama kali dengannya, pasti langsung jatuh cinta. Dia orang Batak. Tapi wajah dan penampilannya bule. 

Kornea matanya kecoklat-coklatan. Ketika menginginkan sesuatu, matanya akan mengerjap-ngerjap lucu. Mungkin itulah yang menyebabkanku luluh, lalu menerima tangannya untuk kuajari menyusun syair di dalam lembar yang namanya rumah tangga. 

Ya, ya. Kami telah pernah menjadi sepasang suami-istri. Sepasang burung merpati yang tak bisa dipisahkan. Sepasang burung merpati yang terbang menjauh mengertap sayap, lalu kembali ke sarang demi memadu kasih.

Sayang, ketika waktu bergerak semakin maju, kami merasa memiliki perbedaan sikap yang amat jauh. Dia seorang supel dan senang kebebasan. Sedangkan aku berharap, sebagai istri, dia harus lebih banyak di rumah. 

Mengurus segala sesuatu, sehingga setiap kali aku pulang ngantor, semua sudah beres. Tak centrang-prenang, dan serba terburu. Dan aku tak harus setiap hari menikmati sayur berasa air kobokan, sambal keasinan, nasi gosong, yang ujung-ujungnya mengoyak kantong demi membeli nasi Padang. Kalau pun tidak, dia memasakkanku mie intsan. Karena itu adalah satu-satunya keahliannya.

Dari situlah pertengkaran demi pertengkaran tak hanya menjadi bunga-bunga rumah tangga, melainkan menjelma rutinitas. Aku menjadi bosan di rumah. Usai ngantor aku jarang langsung pulang. 

Paling-paling ngopi di kantin ditemani pempek yang sudah beku-dingin. Fay malah kesenangan. Dia semakin senang di luaran sana seperti anjing binal. Pulang-pulang hampir dini hari. Alasan ada arisan dengan teman. Arisan apa sampai dini hari?

Ketika kesal itu mencapai titik nadir, perceraian menjadi pilihan terakhir. Fay hanya meneteskan air mata. Setelah itu dia bebas mau terbang ke mana. Sedangkan aku hidup melajang lagi melewati hari-hari.

Kemudian seminggu lalu, dia menelepon hendak kembali kepadaku. Katanya, hidup bebas memiliki titik jenuh juga. Dia bosan berpetualang. Dia ingin memiliki suami, memiliki anak. "Ternyata sepi hampir membunuhku, Mas!" katanya di telepon kala itu. Dengan suara putus-putus.

"Jadi maumu apa? Apa yang kau inginkan setelah hampir lima tahun aku bisa melewati hari-hariku? Kita tak boleh menikah lagi!" gerutuku.

"Aku sudah dua kali menikah, dan dua kali bercerai," jelas Fay memberi alasan.

"Tapi aku belum! Agama tak membolehkan orang yang bercerai rujuk kembali. Kita sudah talak tiga. Kecuali dua-duanya sudah pernah menikah lagi."

"Tak apa-apa, Mas. Yang penting kita sama-sama cinta."

"Ah!"

"Please, Mas! Pokoknya minggu depan jemput aku. Hari Minggu sekitar pukul satu siang, pesawatku mendarat. Aku segera ambil cuti. Jakarta terasa gerah, apalagi hidup tanpa suami."

Aku terdiam. Kucoba menyenangkan hati. Membayangkan yang indah-indah tentang hubungan kami. Tapi, selalu saja terselip kenangan pahit. Fay terlalu dalam menusukkan kuku kebencian di hatiku.

Tapi apakah yang lebih indah dari memaafkan seseorang? Tak ada salahnya melipat kenangan pahit bersama Fay. Tuhan saja bisa memaafkan dosa hamba-Nya. Kenapa untuk Fay aku tak bisa? Kendati aku belum tentu mau menikah lagi dengannya. Ya, setidak-tidaknya menjalin kembali hubungan silaturahmi, sepertinya tak masalah.

Kuharapkan semua berjalan mulus, sebelum akhirnya Fay menelepon barusan, mengabarkan sesuatu; menunggu! Pekerjaan yang paling membosankan!

Lagi pula, apa tadi? Dia mengatakan bahwa pesawat yang dia tumpangi rusak? Dia meneleponku dari wartel? Jadi, untuk apa aku menunggu di bandara? Apakah dia mencoba menguji kesabaran, atau sekadar menyulut emosiku?

Serampangan kubuang bungkus rokok ke tong sampah. Segera kukebut mobil hitam metalik itu membelah jalanan yang panas memanggang. Kuputuskan menutup cerita segala apapun yang berhubungan dengan Fay. 

Juga nomor ponselnya, kemudian kuhapus. Sebenarnya ingin menghapus namanya juga dari memori otakku. Tapi tak bisa. Aku hanya mampu memindahkan namanya dari otak rasa senang ke otak rasa benci.  Ya, jadilah!

Aku memilih membelok ke halaman Cafe Latina, sesaat ponselku kembali berbunyi. Kuharap bukan nomor Fay. Ya, ternyata bukan. Itu nomor Nubuat.

"Ada apa, At?" Kukepitkan ponsel di antara bahu dan telinga. Sementara tanganku tetap di kemudi, memosisikan mobil di parkiran. Kelakuan ceroboh yang selalu tak dapat kutinggalkan.

"Ini, kau tak meliput kejadian besar di bandara?" Suara kresak-kresek sedikit mengganggu suara Nubuat.

"Aku baru dari sana. Tak ada masalah apa-apa kok!"

"Hati-hati, kau bisa kena marah bos besar kalau kau kebobolan berita ini. Barusan ada pesawat gagal mendarat. Moncongnya nyungsep dan pesawat hangus terbakar. Kabarnya seluruh penumpang mati."

Teleponnya terputus. Tubuhku gemetar hebat. Jam tanganku menunjukkan pukul satu lewat sepuluh menit. Apakah Fay salah seorang penumpang pesawat na'as itu? Kau bisa melanjutkannya sendiri dalam pikiranmu.

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun