Mengurus segala sesuatu, sehingga setiap kali aku pulang ngantor, semua sudah beres. Tak centrang-prenang, dan serba terburu. Dan aku tak harus setiap hari menikmati sayur berasa air kobokan, sambal keasinan, nasi gosong, yang ujung-ujungnya mengoyak kantong demi membeli nasi Padang. Kalau pun tidak, dia memasakkanku mie intsan. Karena itu adalah satu-satunya keahliannya.
Dari situlah pertengkaran demi pertengkaran tak hanya menjadi bunga-bunga rumah tangga, melainkan menjelma rutinitas. Aku menjadi bosan di rumah. Usai ngantor aku jarang langsung pulang.Â
Paling-paling ngopi di kantin ditemani pempek yang sudah beku-dingin. Fay malah kesenangan. Dia semakin senang di luaran sana seperti anjing binal. Pulang-pulang hampir dini hari. Alasan ada arisan dengan teman. Arisan apa sampai dini hari?
Ketika kesal itu mencapai titik nadir, perceraian menjadi pilihan terakhir. Fay hanya meneteskan air mata. Setelah itu dia bebas mau terbang ke mana. Sedangkan aku hidup melajang lagi melewati hari-hari.
Kemudian seminggu lalu, dia menelepon hendak kembali kepadaku. Katanya, hidup bebas memiliki titik jenuh juga. Dia bosan berpetualang. Dia ingin memiliki suami, memiliki anak. "Ternyata sepi hampir membunuhku, Mas!" katanya di telepon kala itu. Dengan suara putus-putus.
"Jadi maumu apa? Apa yang kau inginkan setelah hampir lima tahun aku bisa melewati hari-hariku? Kita tak boleh menikah lagi!" gerutuku.
"Aku sudah dua kali menikah, dan dua kali bercerai," jelas Fay memberi alasan.
"Tapi aku belum! Agama tak membolehkan orang yang bercerai rujuk kembali. Kita sudah talak tiga. Kecuali dua-duanya sudah pernah menikah lagi."
"Tak apa-apa, Mas. Yang penting kita sama-sama cinta."
"Ah!"
"Please, Mas! Pokoknya minggu depan jemput aku. Hari Minggu sekitar pukul satu siang, pesawatku mendarat. Aku segera ambil cuti. Jakarta terasa gerah, apalagi hidup tanpa suami."