Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah Joe

31 Januari 2019   12:35 Diperbarui: 31 Januari 2019   12:50 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

* * *

Hampir satu bulan saya menjabat sebagai Pedro Junior. Di suatu petang setelah saya dan Pedro menikmati belalang yang dibakar setengah matang, saya mulai mengeluh, "Saya mulai merasa aneh menjadi Pedro Junior."

"Kenapa aneh?" Pedro merebahkan tubuh di atas tanah sambil menumpukan dua lengan di bawah kepalanya. Saya berbuat serupa. Kami menatap awan gelap yang berarak di langit. "Kau telah sangat terobsesi menjadi seorang Pedro. Terobsesi bebas merdeka tanpa aturan dan kekangan orang-orang di sekelilingmu. Dan semua ini telah terjadi. Nyata!"

"Orang-orang yang saya sayangi dan sekaligus musuhi, sekarang menganggap saya tak ada artinya lagi. Ma dan Pa tak perduli apakah saya berangkat sekolah dengan pakaian rapi atau tidak. Saya tak pernah lagi menemukan sarapan saya sempurna di meja makan. Ma tak pernah menyisir rambut saya. Pa tak pernah mengajak saya membeli buku cerita dan memangkas rambut di toko Kandre. Ah, semua menjadi menyedihkan! Saya merasa sangat asing di antara mereka." Saya menghembuskan napas kesal. Saya beranjak duduk. Saya peluk dua belah lutut saya sambil menumpukan dagu di antara dua belah lutut itu. Seekor anak kucing, berjarak hampir lima kaki dari saya, sedang tertidur pulas di perut ibunya. Saya tiba-tiba teringat Ma yang sangat menyayangi saya, tapi saya menganggapnya musuh yang menakutkan.

Pedro terdiam. Entah mendengar pembicaraan saya atau sudah tertidur, saya tak tahu. "Peter juga tak pernah menegur atau menyeterap saya. Teman-teman di kelas tak lagi memperhatikan gerak-gerik saya. Bahkan guru-guru tak pernah lagi mengatakan jangan mencontoh Joe di hadapan murid-murid mereka."

Pedro mendengkur. Saya berdiri dan berjalan terseok-seok serupa pemabuk menuju rumah. Saya mendengar suara ramai yang ceria di halaman rumah itu. Saya memanjat pagar, kemudian mengintip suasana di halamannya.

Saya melihat Pa, Ma dan Arimbi sedang bermain dengan si Manis di situ. Mereka kelihatan bahagia. Saya seperti merasakan bahwa anak mereka yang sesungguhnya adalah Arimbi, bukan saya. Saya merasa sepi. Saya merasa sendiri. Perlahan saya turun dari pagar. Saya bingung mau ke mana. Pedro sudah mendengkur dan enggan mendengar cerita saya yang cengeng. Oh, saya sangat merasa sendiri....

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun