Nama saya Joe. Saya memiliki banyak musuh di sekolah. Peter sang wali kelas, Pak Kepala Sekolah, Bu Ceriwis yang mengajar Matematika, juga Leon ketua kelas yang berlagak sok pintar (meskipun dia memang pintar). Hanya Pak Min yang menganggap saya sebagai teman. Dia selalu menurut membuka pintu gerbang ketika saya terlambat masuk sekolah. Biasanya dia langsung dibentak Peter. Tapi Pak Min sudah kebal. Masuk dari telinga kanan, keluar dari telinga kiri. Dia sering juga melihat saya memanjat pagar sekolah, dan kabur membolos. Besoknya saat Peter menyeterap dan menginterogasi saya di depan kelas, saya memberi alasan membantu Pak Min membersihkan wc sekolah. Dia pasti menyuruh saya duduk, kemudian memberikan hukuman saat jam istirahat; membersihkan wc. Dan Pak Min melihat saya dari jauh sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ya, ya. Setiap membolos saya selalu mempunyai alasan membantu Pak Min. Ketika lelaki tua berumur hampir limapuluh tahun lebih itu ditanya Peter, tentulah dia membela saya sambil mengetakan, "Benar!" Tapi itu, Peter selalu menyuruh saya kembali mengerjakan segala sesuatu yang saya lakukan saat membantu Pak Min, dengan konsekuensi seorang diri.
Saya sering mendengar guru-guru lain mengajar murid mereka dengan mengatakan demikian, "Anak-anak, kalau ingin pintar, jangan mencontoh anak kelas lima itu. Anak itu nakal, jorok dan senang membohongi guru. Kalian tahu siapa dia?"
"Joe!"
Hati saya sangat meredang. Andaikata brengsek-brengsek kecil di kelas itu hanya tiga atau empat orang saja yang menjawab, pasti saya buat bonyok wajah mereka. Tapi ini, semua menyebut nama saya. Bagaimana mungkin saya membonyokkan anak satu kelas itu? Yang ada saya bisa dijadikan kornet.
Saya benci sekolah! Saya benci dikurung di kelas-kelas sempit dengan anak-anak lelaki cengeng seperti anak perempuan, dan anak-anak perempuan seperti tante-tante genit. Uh! Andai saja Pa dan Ma (begitu saya menyebut Papa dan Mama ) tak menyuruh saya bersekolah, dan membiarkan saya berkeliaran seperti Pedro, pasti saya akan sangat bergairah melewati hari-hari saya. Saya tak akan sedih meninggalkan hari Minggu, dan memulai aktifitas rutin dan menjengkelkan di sekolah di hari Senin. Andai pula semua hari adalah Minggu, sayalah orang yang paling berbahagia di dunia ini.
Ssst! Jangan pernah bercerita bahwa sampai sekarang saya masih bersahabat dengan Pedro. Saya bangga padanya. Dia menjadi idola saya. Maka, meskipun Pa selalu melarang saya bergaul dengan anak gelandangan itu, saya tetap mencari cara untuk menemuinya.
Saya bayangkan betapa enaknya hidup seperti Pedro. Tak ada orang yang memarahinya. Tak ada yang menyuruh ini-itu. Menyuruh sekolah, menyuruh belajar. Dia bisa bangun dengan seenak perutnya. Mau pukul delapan, pukul sembilan, atau sampai seharian di dalam rumah kardusnya di dekat jembatan yang membatasi kota kami dengan kota di seberang. Sementara saya harus bangun pagi sekali. Pukul enam. Hal yang menjengkelkan! Apalagi saya harus mandi, menggosok gigi, membersihkan telinga, berseragam rapi yang membuat saya risih. Huh, apalagi Ma selalu menyuruh saya sarapan dulu. Sepotong roti atau mungkin sepiring nasi goreng, dan tentu saja penyempurna; susu. Uh, benda cair yang menjijikkan! Saya tak mau disamakan dengan si Manis kucing kesayangan saya. Saya ingin seperti Pedro, gagah menghirup kopi panas di warung Paderan ketika dia memiliki uang berlebih.
Menjadi seorang Pedro memang obsesi saya. Maka sering saya bertanya kepadanya, bagaimana agar rambut saya bisa sepanjang miliknya. Tentu jawaban yang cocok adalah jangan sampai memangkas rambut saya. Nyatanya saya tak bisa. Setiap bulan saya seperti kambing domba yang dibawa ke pemangkasan. Pa akan amat senang membawa saya. Dia berjanji akan membelikan saya buku dongeng. Fuh! Selalu itu. Padahal saya benci membaca. Seluruh buku-buku saya menumpuk di bawah dipan. Terkadang bila Pa dan Ma sedang tak di rumah, saya memasukkan buku-buku itu ke dalam karung. Saya memberikannya kepada Pedro untuk dijual ke pasar loak. Hasilnya berbagi dua. Kami akan membeli sate dan melahapnya sampai kenyang. Hal yang paling menyenangkan kemudian, adalah rebahan di sebelah rumah kardus Pedro sambil menghisap rokok murahan. Hingga saya terkadang tersedak dan berurai air mata. Pedro pasti tertawa. Saya menunjukkan bahwa saya bisa. Tapi terbatuk lagi. Berurai air mata lagi. Akhirnya, saya hanya menjadi penonton.
Nah, satu lagi, sebelum saya lupa. Saya benci dengan lelaki yang senang memegang gunting dan sisir itu. Nama lelaki itu Kandre. Dia berwajah Tambi, dan menurut Pa keluarga Kandre rata-rata masih di India. Dia adalah salah seorang lelaki yang sanggup menaklukkan saya di antara tukang pangkas-tukang pangkas di pasar. Tentu untuk itu, Pa sanggup membayar mahal. Bukan karena ongkos pangkasnya yang dipatok mahal. Melainkan Kandre terlalu butuh banyak waktu demi menjaga kepala saya jangan sampai bergerak-gerak. Selebihnya ada tambahan ongkos untuk berobat. Setiap kali rambut saya dipangkas Kandre, pastilah tangannya luka. Saya selalu mengigit tangan yang jahat itu kuat-kuat. Sayang, tenaga dan rasa sakit dia lebih kuat dari gigitan saya. Saya harus kalah dan menjadi anak baik serupa biksu berambut plontos. Hasilnya, Pedro akan menertawakan saya seperti biasa.
Kami (sebenarnya menurut saya hanya Pa dan Ma) hari ini kedatangan tamu. Seorang lelaki kurus-tua bersama seorang anak setinggi saya. Si kurus tua adalah paman Ma dari kampung. Anak yang setinggi saya itu adalah cucunya. Saya tak perduli kedatangan dua orang aneh itu. Saya selalu akan menghambur ke luar setiap kali ada tamu. Sebab setiap ada tamu, pastilah berkah bagi saya. Ma pasti malu teriak-teriak menyuruh saya tidur siang misalnya. Atau belajar. Dan saya paling anti duduk manis di depan tamu-tamu Ma dan Pa. Saya menjadi tumpuan puji kedua orangtua saya itu, meski mungkin dalam hati para tamu, saya adalah anak yang tak patut dicontoh dan harus dijauhi. Bagaimana tidak. Mereka sangat jijik melihat saya yang sengaja mengupil. Kemudian mengorek-ngorek liang telinga. Membuat suara-suara seperti mesin mobil, sehingga ludah saya membusa, berlepotan di bibir. Tamu-tamu itu barangkali berharap Tuhan melenyapkan saya dari depan mereka.
Saya tahu dari ibu kemudian, nama lelaki kurus-tua itu adalah Insang. Saya tertawa sambil mengejek. Bukankah insang itu kepunyaan ikan? Ma marah. Beruntung Insang sudah kembali ke kampungnya. Nama cucu Insang adalah Arimbi. Seperti nama perempuan! Dia berencana menetap di rumah kami sampai tamat esde. Saya membayangkan berapa lama itu. Saya merasa bahwa dia adalah penyakit yang membuat tubuh saya meriang setiap hari.
Coba saja, Ma dan Pa pasti menyuruh saya menemaninya terus-terusan. Juga di sekolah, sehingga kesempatan saya membolos segera lenyap. Saya akan memiliki buntut seperti anjing tetangga. Buntut yang mengekor terus ke mana saya pergi. Brengsek! Waktu saya untuk Pedro pasti berkurang. Padahal sudah jauh-jauh hari saya berharap menjadi murid kesayangannya. Dan itu butuh waktu panjang. Butuh perjuangan. Kata Pedro hampir tiga tahunan. Saya harus siap-siap tidur di rumah kardus. Harus siap-siap menikmati nasi basi. Mengorek-ngorek tong sampah penduduk. Harus belajar ilmu bela diri, sehingga bila bertemu berandalan kecil, saya tak jadi pecundang, dan makanan saya dirampas. Â Aduh, mengapa pula Arimbi menjelma kutil di depan mata saya?
Ternyata Ma dan Pa tak menyuruh saya menemani Arimbi terus-terusan. Arimbi senang membantu Ma di dapur. Jadi dia telah memiliki teman. Dia juga suka membantu Pa di kebun belakang, merapikan bunga-bunga kesayangan Pa, termasuk bonsai yang membuat  mata Arimbi seperti berdecak melihatnya.
Hei, mengapa saya tak sadar? Saya mulai merasakan kehadiran Arimbi bukanlah kutil di depan mata saya. Tuhan telah berbaik hati menciptakan seorang anak seperti dia dan menghadirkannya di depan saya. Ma tak lagi terlalu memperhatikan kegiatan saya, apalagi menyuruh ini-itu. Pa yang selama ini lebih sering menyerahkan tugas mengawasi saya setiap hari kepada Ma, tentu saja semakin alpa tentang saya tersebab Arimbi.
Saya akhirnya bebas keluar rumah. Bebas bermain bersama Pedro. Saya ceritakan tentang Arimbi. Tentang berkah yang didatangkannya. Dia membuat perhatian Ma dan Pa terbagi dua. Jadi, mereka tak fokus lagi memperhatikan saya.
Bila pagi hari saya bangun pukul tujuh, Ma hanya menyuruh saya buru-buru bersiap, jangan sampai terlambat masuk sekolah. Dia tak lagi memperhatikan sepatu saya, apakah berlumpur atau sudah dicuci bersih. Baju seragam saya yang berlengan sangat pendek, kembali bisa saya kenakan. Celana yang penuh tambalan pun bisa saya pakai. Padahal baju dan celana seragam itu sudah Ma masukkan ke box di dalam gudang. Saya mengeluarkannya lagi, dan Ma seperti buta tak menyadarinya.
Ma juga lupa membuatkan susu untuk saya. Di meja makan paling-paling hanya ada sepotong roti. Saya tertawa senang. Saya memiliki alasan berjajan sepuasnya di sekolah. Saya ada alasan tepat, belum sarapan. O, Arimbi, Arimbi! Betapa kau sangat membantu hidup saya!
Saya dan Arimbi satu kelas, dan duduk berdampingan. Teman-teman memuji kerapiannya. Cuh, anak kampung! Peter sangat senang kepadanya. Arimbi cerdas. Setiap Peter bertanya, Arimbi selalu bisa menjawab. Ketika jam istirahat, teman-teman mengerubunginya. Ha, bukankah ini sangat membahagiakan! Mereka semua tak lagi awas terhadap saya.
Di hari-hari selanjutnya, Peter sama sekali tak menggubris, seolah dia buta tak melihat saya membolos sekolah. Saat terlambat masuk ke kelas sampai satu jam lamanya, tak membuat dia berang dan menyeterap saya. Pesona Arimbi telah menghipnotisnya. Dia seolah tak perduli lagi apakah saya ada di kelas atau tidak. Dia mungkin tak perduli juga jika sampai kiamat saya tetap tak masuk ke kelasnya. Sementara masalah pakaian sampai sepatu dan kaos kaki saya, seluruh penghuni sekolah tak lagi mengurusi. Mau saya memakai sepatu terbalik, tak memakai kaos kaki, berkaki ayam, semua diam saja. Mau baju saya tak berkancing, celana saya sobek-sobek, bahkan bila telanjang sekalipun, mereka pasti tak ambil pusing. Hoi, betapa Tuhan menyayangi saya! Saya telah berhasil menjadi Pedro sejati.
Saya menceritakan perubahan-perubahan sekeliling  ke arah lebih baik kepada Pedro. Nyatanya teman saya ini senang. Rumah kardusnya dengan lapang dada selalu menerima saya. Maka hidup saya seharian lebih banyak bersama Pedro ketimbang teman-teman dan guru di sekolah. Saya bebas mengiktu Pedro ke tong-tong sampah. Bebas mengais sisa-sisa makanan orang. Bebas merokok, sampai pipi kempot dan mata merah bengkak. Bebas mengopi sampai saya merasa lambung saya ini berubah hitam. Bebas menyelinap malam hari dan berkeliaran bersama Pedro hingga pukul satu dini hari. Sebab Ma hanya akan berteriak dari ruang tamu, "Arimbi, kau sudah tidur? Bagaimana dengan Joe?"
Arimbi tentulah menjawab, "Semua aman, Tante!" Dia tak mengatakan saya telah terbang melompati jendela sekian jam lalu, dan pergi menggerayangi malam bersama Pedro. Jika dia mencoba mengadu, maka harus rela bibir menjadi bonyok dan berdarah.
Di suatu malam di dekat rumah kardus Pedro. Di bawah sinar purnama yang terang, saya akhrinya dilantik menjadi Pedro Junior. Saya telah menjadi jorok seperti gelandangan. Ujung rambut saya sudah menjuntai-juntai melewati telinga. Pedro mengambil piring seng. Meletakkan arang kayu di atasnya. Arang kayu itu langsung digores-goreskan ke wajah saya. "Nah, kau telah menjadi Pedro Junior sejati." Saya sumringah. Dada saya mengembang. Akhirnya.....
* * *
Hampir satu bulan saya menjabat sebagai Pedro Junior. Di suatu petang setelah saya dan Pedro menikmati belalang yang dibakar setengah matang, saya mulai mengeluh, "Saya mulai merasa aneh menjadi Pedro Junior."
"Kenapa aneh?" Pedro merebahkan tubuh di atas tanah sambil menumpukan dua lengan di bawah kepalanya. Saya berbuat serupa. Kami menatap awan gelap yang berarak di langit. "Kau telah sangat terobsesi menjadi seorang Pedro. Terobsesi bebas merdeka tanpa aturan dan kekangan orang-orang di sekelilingmu. Dan semua ini telah terjadi. Nyata!"
"Orang-orang yang saya sayangi dan sekaligus musuhi, sekarang menganggap saya tak ada artinya lagi. Ma dan Pa tak perduli apakah saya berangkat sekolah dengan pakaian rapi atau tidak. Saya tak pernah lagi menemukan sarapan saya sempurna di meja makan. Ma tak pernah menyisir rambut saya. Pa tak pernah mengajak saya membeli buku cerita dan memangkas rambut di toko Kandre. Ah, semua menjadi menyedihkan! Saya merasa sangat asing di antara mereka." Saya menghembuskan napas kesal. Saya beranjak duduk. Saya peluk dua belah lutut saya sambil menumpukan dagu di antara dua belah lutut itu. Seekor anak kucing, berjarak hampir lima kaki dari saya, sedang tertidur pulas di perut ibunya. Saya tiba-tiba teringat Ma yang sangat menyayangi saya, tapi saya menganggapnya musuh yang menakutkan.
Pedro terdiam. Entah mendengar pembicaraan saya atau sudah tertidur, saya tak tahu. "Peter juga tak pernah menegur atau menyeterap saya. Teman-teman di kelas tak lagi memperhatikan gerak-gerik saya. Bahkan guru-guru tak pernah lagi mengatakan jangan mencontoh Joe di hadapan murid-murid mereka."
Pedro mendengkur. Saya berdiri dan berjalan terseok-seok serupa pemabuk menuju rumah. Saya mendengar suara ramai yang ceria di halaman rumah itu. Saya memanjat pagar, kemudian mengintip suasana di halamannya.
Saya melihat Pa, Ma dan Arimbi sedang bermain dengan si Manis di situ. Mereka kelihatan bahagia. Saya seperti merasakan bahwa anak mereka yang sesungguhnya adalah Arimbi, bukan saya. Saya merasa sepi. Saya merasa sendiri. Perlahan saya turun dari pagar. Saya bingung mau ke mana. Pedro sudah mendengkur dan enggan mendengar cerita saya yang cengeng. Oh, saya sangat merasa sendiri....
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H