"Tolonglah aku! Jangan bunuh aku! Bagaimana istriku?" Dia terdiam. Mengingat-ingat apakah dia salah mengucap. Lanjutnya, "Bukan! Istriku bisa mencari nafkah sendiri. Tapi anakku! Oh, anakku! Dia belum bisa apa-apa! Dia masih kecil, meski tubuhnya besar. Jiwanya juga kerdil, sekerdil otaknya. Belum cukup diri ini membimbingnya. Tolonglah! Tolonglah! Kepada langit, kepada ombak!" Bibirnya bergetar. Napasnya tersengal.Â
Dia merasakan tinggal sekejap lagi waktu baginya untuk menghirup udara segar dan air yang berasa garam. Sebentar itu dia akan dilahap laut. Dibawa entah ke mana. Syukur-syukur didamparkan ke pantai tempat dia lahir dan tumbuh besar. Di nisannya akan ditulis kata-kata; Tuan Yang Sial. Tuan Yang Gagal.
Dia merasa bukan berleha-leha menghadapi hidup selama ini. Dia telah berjuang menjadi pembuat jala, tapi ketika dibeli orang, jala itu hanya disangkuti ganggang laut atau ubur-ubur. Dia menjadi penjemput perahu-perahu yang berbadan sedang, kemudian menyandarkannya di bibir pantai.Â
Tapi kayu yang menyerupai sayap yang membentang di kiri perahu, suatu hari telah patah oleh dorongan kuatnya. Apakah tenaganya seperti kekuatan gajah? Entahlah! Yang pasti dia diberhentikan, lalu menjadi nelayan.
Nelayan yang berulangkali melaut. Berulangkali pulang membawa ikan teri segenggaman. Apakah di laut tak ada ikan yang besar? Kenapa nelayan lain berhasil mendapatkan ikan-ikan itu? Anaknya sempat menghina bahwa ikan segenggaman itu akan habis dengan sekali suap saja.
Betapa sialkah lelaki ini? Dosa apa yang diperbuatnya sehingga dari tangannya yang kurus-liat ini selalu menghasilkan kesialan? Tapi dia tetap menyayangi langit dan laut. Dia menghormati keduanya. Tapi apakah dia pernah mengingat untuk menyayangi dan menghormati sang pencipta langit dan laut?
Setengah perahunya sudah masuk ke dalam laut. Lelaki itu bersujud.
Dua pertiga perahunya sudah masuk ke dalam laut. Lelaki itu tengelam.
Seluruh perahu tenggelam ke dalam laut. Lelaki itu melihat seberkas cahaya menjemputnya. Tiba-tiba ikan-ikan berdatangan memasuki sanubarinya. Segerombol demi segerombol. Lelaki ini berontak. Dia tak ingin sanubarinya sakit oleh keliaran sirip ikan. Sayang, ikan-ikan itu semakin banyak. Masuk melalui dubur. Masuk melalui lobang kemaluan. Masuk melalui lobang telinga. Lobang hidung. Mulut.Â
Dan cahaya terang-benderang itu semakin nyata. Cahaya terang-benderang itu memanggul kursi. Memanggul orang-orang berseragam putih. Tapi mereka meninggalkan lelaki ini. Kemudian melintas lagi di belakang mereka kesuraman. Kesuraman yang memanggul orang-orang berseragam hitam. Orang-orang itu berhenti tanpa dipinta. Mereka mendatangkan kursi yang dipenuhi ular. Lelaki ini didudukkan di sana.
Beruntunglah lelaki ini tersedak. Dia tersentak di tengah keriuhan bencana ombak, angin, awan dan hujan yang menggila. Sebelah tangannya masih memeluk erat sebilah kayu patahan lambung perahu. "Ombak! Ombak! Bawalah aku pulang!"