Padahal kemarin-kemarin, kemarinnya lagi, laut itu adalah pacarnya. Apakah mereka sudah bermusuhan sehingga laut menelan lelaki yang menjadi tumpuan hidupnya? Tempat dia berbagi kesah, tentang anak semata wayangnya yang ribut memanggil-manggil bapaknya.
"Diamlah, Nak! Bapakmu akan pulang sebentar lagi. Dia akan membawa ikan yang sangat banyak seperti yang pernah dimimpikannya." Perempuan itu berusaha menenangkan hati anaknya.
"Bapak memang suka bermimpi! Bapak selalu ingin mewujudkan mimpinya. Â Padahal kalau aku memimpikan sepeda mini seperti milik teman-temanku, bapak selalu mengatakan bahwa itu kembang tidur. Tak usah dipercaya dan tak mesti diwujudkan!"
"Tapi ini demi hidup kita. Demi ikan-ikan."
"Kapan bapak bisa mendapatkan ikan? Bukankah hasil dari kerang-kerang yang ibu cari di lumpur pantailah yang membuat kita hidup?"
"Mungkin bapak belum berezeki!"
"Bapak memang sial!"
"Jangan berkata begitu, Nak!"
"Sial! Sial! Sial! Bapaaaak!"
Jegleerrr! Petir menyambar. Perahu layar kecil itu mulai dimasuki air. Lelaki itu bersujud. Meminta-minta kepada air agar jangan memanjat perahunya. Tapi air tak memiliki telinga. Tak memiliki hati untuk memundurkan niat memanjat itu. Lalu beberapa ikan kecil ikut masuk. Tangan kurus-liat lelaki itu bergegas mengambil gayung bekas kaleng margarin.Â
Dibuangnya air. Dibuangnya ikan-ikan kecil. Hanya saja, semakin banyak dibuang, semakin banyak pula yang memasuki perahunya. Sementara layar perahu telah dirampas angin, dibuang entah di mana. Tiang layar telah patah. Pun laut melahapnya nikmat.