Hujan bertambah rapat. Kaca jendela yang memisahkanku dari dunia luar tak juga bisa memilah rasa gigil dari kehangatan rumah yang kuanggap tak bersahabat. Detak jam sudut dengan pendulum yang melenggang-lenggok dari kanan ke kiri, hanya menambah sunyi. Kembali lagi bersemedi menunggu pergantian tahun. Pinem telah terlelap dengan mimpinya, mungkin bertemu Parjo pembantu tetangga sebelah yang menduda.
Paolo tak memberi kabar lagi, meski sebuah desah yang menghangati badan. Pun Meilani tenggelam digulung kesibukannya. Terbayang aku Paolo dikelilingi beberapa perempuan di sebuah pub. Perempuan-perempuan berbikini, memegang terompet tahun baru. Paolo tak meresleting celananya yang kemudian kedodoran.. Dia mengenakan topi kerucut. Wajahnya dipenuhi pasta lipstik.
Terbayang aku Meilani mendekam di kamar sebuah kos-kosan bersama lelaki berjambang dan berdada bidang. Musik menghentak menggema. Botol bir bergetar di atas meja beling. Meilani merasuk ke bawah ketiak si lelaki. Si lelaki menenggelamkan hasrat perempuannya ke puncak surgawi. Oh, Tuhan. Betapa aku tak bisa memisahkan orang-orang yang kucintai dari dosa menelikung.
Bunyi telepon akhirnya mengisi kekosongan ini. Malas-malasan kuseret langkah menuju ruang tamu. Kuangkat horn telepon. Terdengar olehku suara memburu seorang perempuan nun si seberang sana. Dia mengatakan Meilani dibawa ke rumah sakit. Dalam bayanganku, Meilani pasti telah memakai narkoba.
Tapi tak perlu mengira-ngira dulu. Kususul mimpi Pinem dan menyeretnya ke dunia nyata. Berdua kami melesat menembus hujan. Menyetop taksi, lalu linglung mengitari kota yang berkelap-kelip dengan ribuan lampu hias.
Setengah jam lamanya, aku bagai tersengat listrik setiba di koridor rumah sakit. Seorang dokter memanggilku sebelum langkahku memasuki ruangan tempat Meilani terbaring pucat. Meilani menggapaiku dengan tangis. Kuteruskan langkah, lalu memeluk kepala putriku itu. Sebelum akhirnya kutemui dokter di luar ruangan.
"Putri saya kenapa, Dok!"
Dia tersenyum bijak. "Putri anda sehat-sehat saja." Dia menyalamiku. "Selamat, dia positif hamil. Anda ibunya, kan?"
Aku mengangguk. Tapi hatiku bagai digebuk dengan puluhan alu sehingga membuat pandangan ini nanar. Ketika si dokter menjauh, barulah kutemui lagi Meilani dan mencecarnya dengan beberapa pertanyaan menusuk. Pinem kubiarkan terkunci di luar sana.
"Siapa pelakunya, Meilani?" Kesabaranku hampir habis. "Tolong katakana sebelum kau membuatku gila!"
Samar dia menggumam, "P-a-p-a!"