Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pucuk Gigil

30 Januari 2019   14:56 Diperbarui: 30 Januari 2019   15:20 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ya, aku mencoba mengerti. Tapi tetap saja dada ini sesak. Apalagi Hairani selalu menambahkan bumbu penyedap, bahwa suami yang memiliki istri menopause kerap kali beradu dengan munculnya puber kedua. Itu artinya, suami tak hanya mencari perempuan penjaja di luar sana demi menuntaskan syahwatnya, tapi cenderung mengatasnamakan cinta. Maka, bukan tak mungkin wajah suami berubah serupa kanak-kanak yang menginginkan gulali sambil mendekati istrinya untuk sebuah lembaran. Lembaran yang harus ditandatangi istri, berupa ijin mempersilahkan si suami menikah lagi dengan perempuan muda dan mengkal. Setan alas!

Seumur-umur aku tak mau dimadu. Dimadu selalu menyengsarakan. Meski kutahu merelakan suami menikah lagi, adalah pengaman agar dia jangan gelinjingan memacari perempuan yang bermacam, lalu membawa penyakit ke rumah.

Tapi siapa yang mau berbagi cinta? Siapa yang tulus ikhlas membiarkan suaminya rebah di pelukan perempuan lain, sementara dirinya tak bisa memberikan kehisteriaan karena si keparat menopause? Kenapa pula lelaki tak memiliki nasib yang sama? Misalnya, mengalami juga menopause, menstruasi, hamil dan melahirkan. Ach, lelaki memang mendapat yang lebih baik dari perempuan!

Tapi bukan tingkah Paolo saja yang membuatku sakit hati. Meilani, putri semata wayangku, pun serupa. Dia tak lagi senang duduk-duduk bersamaku menjamu senja yang hadir di teras. Atau menonton acara gosip tentang selebritis anu di televisi. Atau mendengar ceritanya tentang suasana di kampus. Tentang dosen killer. Tentang pelajaran-pelajaran njelimet. Tentang menstruasinya yang tak teratur. Keputihan. Cara berdandan. Bagaimana bersikap manis di hadapan lelaki yang ditaksir. Bla...bla...bla.... Oh, Tuhan. Beginikah kejadian yang selalu dihadapi perempuan menopause?

"Bu Fatmah, kondisi demikian memang rata-rata dialami oleh perempuan menopause. Kita akan merasa sangat tersisih dan sengaja disisihkan oleh suami maupun anak-anak. Kita merasa asing di tengah keluarga. Padahal itu hanya perasaan saja. Suami dan anak-anak tetap bersikap baik. Tak ada yang berubah. Hanya perempuan menopause yang membuatnya berbeda," jelas psikolog langgananku ketika aku bertamu kepadanya dengan segudang masalah.

"Tapi, adakah obat untuk menyembuhan perasaan seperti itu?"

"Tak ada obat yang bisa menyembuhkan perasaan seperti itu, Bu Fatmah. Semua terletak pada keinginan ibu, mau menerima kondisi apa adanya atau malahan sebaliknya, berusaha memberontak. Bu, perasaan asing itu hanya ibu yang menciptakannya. Dan ibu juga yang sanggup membunuhnya. Paham, Bu?" Aku mengangguk. Namun aku tak tahu apakah anggukanku ungkapan kepahaman atau hanya sekedar kelinglungan semata. Entahah!

* * *

Penghujung Desember yang gigil. Hujan tetap merapat di luar sana, meski orang-orang berharap dia reda, sehingga bisa berpesta di jalanan dan lapangan kota bersama kembang api. Bersama terompet hingar-bingar.

Kuseruput teh hangat membuang gulana. Sebuah novel yang kubaca sambil lalu, kuberi tanda dengan kertas sela bergambar snoppy di titik terakhir aku membacanya. Lalu dia kuletakkan di rak.

Aku ingin menelepon Paolo di kantornya. Aku ingin menyuruhnya buru-buru membeli sekeranjang jagung yang akan dibakar di malam pergantian tahun. Mungkin juga memintanya membelikan tiga buah terompet, agar kami bertiga bisa meniupnya kuat-kuat menanti hari baru yang semoga lebih terang dari tahun sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun