Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mirna, Laila, dan Prambudi

28 Januari 2019   14:20 Diperbarui: 28 Januari 2019   15:15 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

* * *

Tak ada yang menungguku setiba di Bandung. Laila mengajakku singgah sebentar ke rumahnya. Setelah dipikir-pikir, ada baiknya juga. Aku masih malas langsung menuju rumah orangtuaku. Pasti, mereka akan menembakku dengan kata-kata termuntahkan. Mereka mempertanyakan perceraianku dengan Mirna. Mempertanyakan nasib Lebon. Menyalahkanku kenapa dulu memilih Mirna sebagi istriku. Ugh!

Kuikuti langkah Laila yang panjang-panjang menuju sebuah taxi. Dia sengaja duduk di belakang sendirian karena bertubuh besar. Sementara aku duduk di jok depan sambil memeluk notebook.

"Ke mana?" Sopir taxi bertanya. Laila menyebutkan nama sebuah tempat yang asing bagiku. Namun aku tak perduli. Mudah-mudahan kami segera sampai. Karena mendadak perutku mengulah. Ingin buang air besar. Penyakit dadakan itu selalu kambuh manakala aku stress. Memasuki kota Bandung tadi, aku ditelepon Mardan, seorang redaktur cerita bersambung di sebuah majalah elite di Jakarta. Dia mempertanyakan posisiku saat  itu. Mempertanyakan contoh cerita bersambungku yang segera diterbitkan.

Begitu mendengar aku hampir sampai di Bandung, dia langsung mencak-mencak. Bahkan dia sedikit menerorku bahwa bos majalahnya akan membatalkan menerbitkankan cerita bersambungku bila sampai sehari lagi aku belum sampai di Jakarta.

Ya, paling tidak dari rumah Laila aku langsung ke rumah orangtuaku. Basa-basi sebentar, lalu terbang kembali ke Jakarta mempergunakan pesawat. Usai urusan kelar, barulah kembali ke Bandung.

Setiba di rumah Laila yang lumayan besar, aku langsung permisi ke toilet. Hampir setengah jam aku buang hajat. Selesai itu aku ke luar. Aku bermaksud permisi pulang karena harus bergegas sehingga tiba di Jakarta dalam waktu yang tak lama.

Tapi ruangan tamu Laila sepi. Hanya seorang lelaki yang duduk di sofa menatapku ramah. Dia bertubuh bulat seperti Laila. Mungkinkah dia suami perempuan itu? Tapi, dia mengatakan masih perawan. Lalu, adakah dia saudara kandung Laila? Forum mereka sama persis!

Belum puas dengan berbagai pertanyaan memenuhi kepala. Belum puas celingak-celinguk mencari Laila, tiba-tiba lelaki itu bertanya, "Mencari siapa?"

"Maaf, Mas. Laila ke mana?"

Dia terawa pelan. "Aku Laila!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun