Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mirna, Laila, dan Prambudi

28 Januari 2019   14:20 Diperbarui: 28 Januari 2019   15:15 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

"Aneh, kan? Seorang perempuan jelek sepertiku, malahan bekerja di tempat perempuan-perempuan cantik. Tapi tak apa. Aku memang tak cantik. Namun sebagai disainer, aku telah berjasa membuat orang lain lebih cantik."

Kami akhirnya terlelap setelah sopir memutar lagu melankolis dari tape di atas kepalanya. Mimpiku menjalar kepada Mirna. Di mana dia marah-marah sambil mencak-mencak di depanku. Padahal aku yang seharusnya marah besar. Sebab sebagai seorang ibu, dia telah keterlaluan. Dia selalu pulang lebih larut setiap hari. Hingga anak kami, Lebon, terpaksa lebih sering diasuh olehku dan pembantu. Ya, terpaksa!

Aku bukan pekerja kantoran. Aku pekerja rumahan yang menghabiskan waktunya dengan menulis. Jadi, tak ada alasan menolak memomong anak. Kasihan, seharusnya aku yang harus berjibaku di luar. Ini, malahan istriku yang mati-matian bekerja, sementara aku duduk menghadap komputer terus-terusan di rumah. Atau setidak-tidaknya mengasuh anak yang suka rewel.

Ujung-ujungnya, sebelum aku menudingnya sering selingkuh dengan si anu, bos itu, dia berbalik arah mencapku suami melempem. Bahkan tak urung dia menuduhku gay, karena masa laluku memang pernah terpengaruh dunia lelaki jadi-jadian.

Tiba-tiba aku tersentak. Bus terasa bergoyang ke kiri. Kulihat tak ada kepala-kepala penumpang di sekitarku. Juga Laila. Sunyi benar. Di luar, lampu jalan temaram menembus kaca jendela.

Hai, sudah malam rupanya! Jam tanganku menunjukkan pukul satu malam. Gila, berarti sudah tujuhbelas belas jam aku terlelap! Segera aku berdiri, hendak keluar mencari penumpang lain. Tapi terpaksa diurungkan karena sekonyong kepala-kepala mucul di ambang pintu. Penumpang menerobos seperti beberapa ekor sapi. Lalu duduk tanpa ba-bi-bu. Diam, dan menyisakan dengkur halus. Laila juga telah duduk manis di sebelahku.

"Di mana kita sekarang?" tanyaku setelah bus berjalan pelan.

"Di sebuah tempat antara Jakarta-Bandung."

"Ha!" Aku berteriak. Beberapa pasang mata melihatku tak senang. "Berarti aku tak sempat turun di Jakarta. Bagaimana dengan urusan yang harus kuselesaikan? Kenapa kau tak membangunkanku?" ucapku seolah menyalahkannya.

"Sorry, aku kelupaan. Lagipula aku tak ingin mengganggumu. Kau kelihatan sangat lelap."

Sepi. Dia terbenam di balik novelnya. Tapi tak lama. Karena dia langsung mematikan lampu baca. Kemudian mendengkur halus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun