"Hei, sudah ada pengganti untuk orang reklame?" kejarku. Prasetyo melotot.
"Maksudmu? Kau ingin menggantikan pekerjaanku?" Dia menggeleng. "Wak Solah pasti tak mengijinkanmu!" Wak Solah adalah panggilannnya  untuk ayahku.
"Ya! Kau kan tak bekerja dengan Bang Birin lagi! Sudah ada penggantimu, belum?"
Prasetyo menggeleng. Aku tersenyum. Aku merasa seperti di awang-awang. Kepergian Prasetyo yang sesungguhnya akan menyisakan sakit di dada, tenggelam oleh cita-cita menjadi orang reklame film. Bang Birin juga sudah mengiyakan. Baginya tak masalah karena untuk mencari pengganti Prasetyo, dia tak ada waktu. Kebetulan aku mau, jadi berterima saja Bang Birin.
Hanya saja, kayu penghalang melintang di depan mataku. Ayah dan Umak berang manakala mendengar niatku menggantikan pekerjaan Prasetyo. Tak ada ijin sedikit pun dikeluarkan. Padahal aku berjanji tetap sekolah dan belajar yang giat. Tugas menjadi orang reklame film hanya selepas Ashar. Aku juga tak perlu seperti Prasetyo harus bermalam-malam di bioskop. Itu kan kehendaknya, bukan peraturan yang dikeluarkan Bang Birin.
"Pokoknya tidak!"
"Tapi?"
Pupus sudah harapku. Kulepas Prasetyo di terminal bus bayangan dengan mata berkaca-kaca. Bukan lantaran melarat karena sedih ditinggalkannya. Melainkan pilu tak diberi ijin orangtua menjadi anak buah Bang Birin.
Tapi aku memberanikan diri menyelinap dari rumah di petang pertama bertugas sebagai anak buah Bang Birin. Aku sengaja mengenakan topi lepar yang kupinjam dari Salohot. Juga kacamata hitam kepunyaan Bang Hanafi. Lumayan lucu kacamata yang kebesaran itu nangkring di pangkal hidungku. Â Cukuplah sudah penyamaran. Semoga orangtuaku silap mengenali anaknya.
Layar film pun kuikat erat-erat di dua bambu kuning seperti perintah Bang Birin. Aku kemudian meringkuk seperti monyet kedinginan di bak pick up. Tape dinyalakan. Volume kubesarkan. Suara melengking di toa memekakkan telinga. Bang Birin buru-buru menyetel  alat di sebelah tape itu. Nah, sekarang suaranya pas. Lagu India juga terang terdengar. Pick up melaju pelan-pelan. Sekali ini reklame film laga dengan bintang utama Barry Prima.
Alangkah bangganya dipelototi orang di jalan-jalan. Nyaris seluruh mata melihatku. Ternyata menjadi raja sepetang itu bukan dusta. Aku sangat merasakannya. Aku melambai-lambai sebentar kepada orang yang kukenal, hingga bencana kemudian meledak.