Ki Sobari lahir saat tunas jati tumbuh di halaman rumah. Begitu konon ceritanya. Pada awalnya tak ada yang mengait-ngaitkan antara Ki Sobari dan jati itu. Tapi suati kali jati yang kemudian tumbuh setinggi orang dewasa, tanpa sengaja diseruduk gerobak sapi, tiba-tiba pula Ki Sobari kecil jatuh di parit.
Mang Ila, bapak Ki Sobari muntab. Musabab pertama, karena Uncang---pembantu rumah---tak telaten menjaga Ki Sobari kecil yang lagi nakal-nakalnya hingga jatuh ke parit. Musabab kedua, karena gerobak sapi telah membuat jati hampir rubuh. Untung tak sampai mati. Lalu, kisah Ki Sobari dan jati pun bermula.
Nyai Emban, tukang urut kampung yang kabarnya memiliki indra keenam, mengabarkan keterkaitan antara Ki Sobari kecil dan jati. "Sepertinya anak Juragan, kembar dengan jati yang tumbuh di halaman. Jadi, apa-apa yang terjadi pada diri Sobari, akan terjadi pula kepada jati. Begitu sebaliknya," kata Nyai Eman mengurut kaki Ki Sobari kecil yang menjerit-jerit menahan sakit.Â
Mang Ila hanya melecehkan ucapan Nyai Emban dalam hati. Tapi tak lagi setelah dua hari berselang. Daun jati tiba-tiba menguning dan layu. Mungkin akibat ditabrak gerobak sapi itu. Begitu pula yang terjadi dengan Ki Sobari kecil. Kendati anak itu tak sampai menguning kulitnya, tapi dia terlihat layu. Membuka mulutnya pun susah. Sudah tiga dukun dan satu mantri yang diajak ke rumah. Namun kondisi anak itu malahan memburuk.
Mang Ila buru-buru mengambil pupuk kandang di peternakan sapi Laiden. Dipupuknya jati itu. Disiramnya dengan sedikit air. Walaupun tak seratus persen dia percaya ada keterkaitan antara Ki Sobari kecil dan jati, tapi dia hanya berusaha. Semua terserah yang di atas. Sakit berasal dari-Nya, sehat pun demikian.
Ajaib, esok harinya jati itu segar seperti sedia kala. Lebih ajaib lagi Ki Sobari kecil sudah mau makan. Bahkan dia ikut Mang Ila menonton pagelaran tari di alun-alun desa.
Begitulah kemudian antara percaya dan tidak, dari mulut ke mulut, cerita tentang Ki Sobari dan jati merebak di seluruh desa. Mang Ila yang tak ingin anaknya celaka, memagar jati itu. Tak seorang pun boleh mendekat ke situ, apalagi nekad memetik daunnya. Pernah sekali terjadi, ketika usia Ki Sobari menginjak tiga belas tahun, satu dahan jati hampir patah karena tersangkut layangan. Kaki Ki Sobari pun keseloe entah sebab jatuh di mana.
"Pokoknya siapa pun yang berusaha mengganggu jati itu, akan kuhunus dengan pedang." Demikian kiranya amarah Mang Ila yang sangat melindungi anaknya.
"Namanya cuma kecelakaan, Pak. Dari dulu aku tak percaya kalau jati itu ada hubungan dengan anak kita," sungut istrinya. "Aku tiap hari menyapu daun-daunnya yang berserakan di tanah, tapi anak kita sehat-sehat saja."
Mang Ila mengerutkan kening. "Kalau memang daunnya itu sudah tua, tak masalah. Itu sudah takdirnya. Tapi kalau sengaja tangan jahil yang mengganggunya, anak kita bisa celaka. Apa kau mau anak kita mati muda?"
Penduduk desa yang menganggap jati itu pohon keramat, kerap kali datang membawa sesajen ke situ. Apalagi sekarang dia kelihatan angker dan sakral. Tingginya melebihi atap rumah. Daunnya rimbun memayungi seluruh halaman. Mang Ila membiarkannya saja. Kendati setelah Ki Sobari tumbuh dewasa dan menikah dengan Siti, tak ada seorang pun penduduk yang diperbolehkan meminta pertolongan kepada jati itu.