Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Api

24 Januari 2019   16:03 Diperbarui: 24 Januari 2019   16:10 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

Ibu menangis. Bila berhadapan dengan Ayah, dia padam, menjadi air. Tak sempat lagi saya mendengar ceracauan Ayah, selain saya berlari menuju kamar. Saya melompat ke atas tempat tidur. Menutup seluruh tubuh dengan selimut. Menutup dua telinga dengan bantal. Menutup mata, berharap saya akan terlelap, lalu terbangun besok hari dengan kondisi Ayah setenang telaga. Dengan kondisi Ibu, biar pun tak setenang telaga, tapi setenang sungai tanpa bebatuan.

"Ibumu suka marah, Yon?" tanya saya saat bermain berdua Yon di tanah lapang.

"Suka juga. Sesekali," jawabnya. Mata Yon awas memerhatikan layangan di atas sana.

"Suka mukul juga?"

"Nggak pernah! Paling suara ibuku saja yang keras. Dia sering mengajakku jalan-jalan. Kalau ibuku marah besar, karena aku memecahkan piring. Atau, menghambur-hamburkan makanan. Mencubit adikku. Kalau kau?"

Saya meringis. Rasa perih di betis dan ngilu di tulang saya, telah hilang. Tapi perih di telinga bekas jeweran Ibu, tetap terasa.

"Aku pulang dulu." Saya berlari menuju rumah. Hampir jam empat sore. Saya tak ingin Ibu menjerit-jerit memanggil saya untuk mandi. Saya ingin Ibu sekali ini bisa tersenyum melihat saya pulang dengan baju dan badan bebas kotoran. Tadi pagi setelah dijewer Ibu---tentu setelah Ayah berangkat kerja---saya berdoa kepada Tuhan, agar Ibu tersenyum. Selalu tersenyum. Bahagia rasanya mempunyai Ibu yang suka tersenyum. Ayah pasti senang. Dan tak ada lagi perang di rumah saya.

Beberapa rumah sebelum rumah saya, Pak Ijo menyetop lari saya. Dia membawa setandan pisang. Katanya, dia barusan panen pisang. Tiga buah diberikan kepada saya. "Katakan kepada ibumu, nanti malam saya antar lima sisir pisang ke rumahmu, Tole!"

"Terima kasih, Pak Oji!" Saya kembali berlari. Di depan pintu rumah, saya berhenti untuk menikmati sebuah pisang. Entah pasal apa, mendadak Ibu menjelma api. Membuka pintu dan menghunus sebatang lidi. Langkahnya panjang mendekatiku. Siap-siap mencambuk, tapi akhirnya ambruk. Saya lupa telah membuang kulit pisang sembarangan.  Ibu yang sembarangan mengumbar api, pun lupa kalau kakinya tak bermata. Dia menginjak kulit pisang itu.

* * *

Sekarang Ibu suka tersenyum. Selalu tersenyum. Seharusnya saya bahagia. Tapi kali ini berbeda. Saya sangat pilu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun