Tiba-tiba saya tersentak melihat wajah lelaki di cermin itu. Hai, pergi ke mana kulitnya yang terang? Di mana kening lebarnya nan memukau? Mata yang cemerlang. Hidung mancung. Bibir tipis, merah, karena tak merokok. Kumis tebal menantang. Oh, Tuhan.... Kulit itu sekarang bagai gelambir berlemak!
 Kening itu memiliki belasan kerutan, dan sama sekali suram. Mata mencorong, dengan kantung seperti akan meleleh. Hidung mengembang sebesar tomat. Bibir tebal, besar seolah dipukul berulangkali. Dan kumis yang digelantungi ulat-ulat.
Saya hampir menjerit. Tapi saya tahankan. Ketukan halus sang sekretaris di pintu, membuat saya tersadar masih berada di depan cermin sejak tadi. Oh, adakah air di wastafel itu semacam cuka para sehingga wajah saya menjadi sedemikian menakutkan? Terburu saya menutup wajah dengan sapu tangan, kemudian menemui si sekretaris yang menunggu di depan pintu dengan wajah pucat.
"Bapak sudah ditunggu! Wartawan juga lengkap, seluruh media dari televisi, koran dan internet." Dia heran melihat saya. Dia memerhatikan wajah yang saya tutupi. Matanya menyipit sehingga roman orientalnya semakin kentara. "Bapak sakit? Apa yang Bapak sembunyikan di wajah itu?" lanjutnya. Saya mundur selangkah. Saya berjalan mendekati meja kerja saya. Sebuah tas dan setumpuk map langsung saya ambil. Saya langsung memasuki pintu rahasia yang menghubungkan kantor dengan tempat parkir mobil. Sekretaris mencoba menahan.
"Bilang saja Bapak sakit!"
"Tapi, Pak! Bagaimana dengan orang yang sudah kumpul? Bisa ribut, Pak!" Dia protes. Pasti sangat susah meredam emosi orang-orang yang sudah sengaja diundang untuk konferensi pers, tapi akhirnya kecewa karena acara itu dibatalkan sepihak. Padahal bisa jadi di antara mereka telah sengaja meninggalkan tugas-tugas mereka yang lebih penting dari acara konferensi pers itu.
Para wartawan, khususnya dari media yang terbit harian dan pagi hari, juga sudah kalang-kabut antara menunggu keterangan dari saya dan memikirkan dead line. Jam menunjukkan pukul tujuh lewat tigapuluh malam. Wajar saja mereka seperti memakan buah simalakama. Menunggu keterangan pers saya, sama artinya gagal menyelesaikan straight news mereka tadi siang, yang tentu kalau tak dimuat besok, lusa akan basi. Meninggalkan acara saya, berarti mereka kebobolan berita, dan siap-siap menerima teguran keras dari pemimpin redaksi.
"Uruslah!" Saya langsung menghilang di balik pintu.
* * *
Saya sudah membayangkan hal ini bakal terjadi. Dini hari ketika saya tak bisa tidur, saya membunuh waktu dengan menyalakan televisi. Sebuah berita hangat sekitar tiga menit disiarkan. Bagaimana para peserta konferensi pers di departemen keuangan marah besar. Beberapa memukul-mukul meja. Bahkan seorang fotografer membanting kameranya. Saya tak tahu apakah benda itu akan pecah, dan si fotografer menelepon saya; meminta ganti rugi.
Saya melihat sekretaris hampir menangis saking takutnya. Pak Sarwana, humas di departemen keuangan pun tak kalah cemasnya. Terdengar peserta teriak-teriak, yakni dari pihak pers, bahwa ada yang ditutup-tutupi dalam rencana konferensi pers itu. Mereka menuntut tranparansi. Sementara peserta yang dari birokrat santai-santai saja seperti biasa mereka santai menghadapi persoalan dari yang pelik sampai mudah.