"Santai saja! Aku sudah tujuh belas tahun, Ut. Perkara menyelam, aku sehebat Bapak." Aku menyeringai. Perahu terangguk-angguk mengikuti arus.Â
Sengaja mesin perahu tak dihidupkan. Takut kedengaran Bapak. Ketika rumahku terlihat semakin kecil, barulah Ruhul dan Misnan mati-matian membetot mesin perahu. Seolah mereka bertarung dengan kambing bandot yang mengamuk. Tapi mesin bergeming. Aku harus turun tangan membujuk mesin itu. Perahu pun melaju kencang.
Aku teringat kembali mimpi tadi malam. Kalau bukan karena mimpi itu, aku tak senekad ini. Melanggar perintah Mak, dan membiarkan Bapak meradang dengan batuknya.Â
Bagaimanapun dalam mimpi itu aku beroleh emas segenggam dalam penyelamanku di dasar Sungai Musi. Mimpi memang bunga tidur. Tapi berharap sedikit karenanya, mungkin tak apa-apa.
"Apakah kita sanggup mengoperasikan semua ini?" Saut ragu-ragu melihat segala perlengkapan di atas perahu; ayakan, tali-temali, karung, selang dan beberapa pernak-pernik lainnya.
"Perkara di atas perahu, anak SD juga bisa mengoperasikannya. Kuyung dan Misnan pernah ikut juga mencari harta karun. Yang berat adalah tugasku, menyelam. Tapi tenang saja. Yakinlah, hari ini kita pulang membawa emas," sumbarku. Semoga saja dengan emas itu bisa membawa Bapak ke rumah sakit.
Kendati harapku menggelora, hasilnya taklah semudah membalikkan telapak tangan. Berbilang jam kami merambahi lokasi-lokasi terdalam Sungai Musi, tapi yang didapat hanya lumpur dan sampah. Keempat temanku pun sudah berpayah-payah wajahnya. Perbekalan makan telah pula kandas. Tinggal sepertiga air di galon yang tak bisa mengenyangkan kecuali membuat perut kembung.
Patah arang sudah harapan mereka. Tak demikian denganku. Malu rasanya telah melanggar perintah Mak dan membiarkan Bapak sendirian di rumah, pulang-pulang tak membawa buah tangan. Habislah direpet Mak. Puaslah mendengar Bapak mengeluh dengan batuk berdehak-dehak.
Ketika senja merapati malam, keempat temanku mengajak pulang. Lapar sudah tak tertahankan. Lunglai tak pula terlerai. Tapi masih ada nyala di hatiku, seperti kerdip lampu perahu yang berlayar di tengah lautan luas.
Kuputar kemudi hingga perahu berbalik seratus delapan puluh derajat. Teman-temanku menjerit kesenangan. Akhirnya aku mau juga memutus harap dan pulang. Kendati sebenarnya mereka salah besar.Â
Karena perahu tetap melaju kencang, meskipun perahu sudah sejajar dengan perkampungan kami. Jerit kesenangan berubah menjadi jerit kesetanan menyuruhku menepi.